Mengapa? Karena itulah yang laku dijual. Di era media sosial, kontroversi adalah mata uang. Semakin kontroversial suatu isu, semakin ramai netizen berdatangan, semakin banyak media yang tertarik meliput.
Apakah kelompok ini bisa disebut oposisi yang produktif? Mungkin mereka lebih tepat disebut sebagai "oposisi eksistensial."Â
Ahli komunikasi politik, seperti Prof. Jay Blumler, menggambarkan fenomena seperti ini sebagai protest politicians atau politisi protes: mereka yang muncul dari penolakan terhadap status quo namun tanpa komitmen penuh untuk menjadi alternatif yang lebih baik.Â
Namun, bagi para mantan pejabat ini, barangkali "asal berbeda" adalah strategi ampuh. Mereka tahu bagaimana media bekerja dan betapa hausnya netizen akan kontroversi.
Kritik Demi Rakyat atau Demi Media?
Kritik yang membangun biasanya menyoroti kebijakan publik yang penting: pendidikan, kesehatan, harga bahan pokok, dan lain-lain.Â
Namun, tak jarang kritik yang muncul dari kelompok ini lebih berfokus pada hal-hal yang sensasional atau sekadar perbedaan pendapat tanpa solusi jelas.Â
Contohnya, perdebatan soal "kebodohan intelektual" atau "ideologi yang mengancam negara" sering kali memenuhi panggung opini mereka.Â
Lucunya, meski sebagian dari mereka menyebut diri sebagai "Tokoh Masyarakat," tak jelas masyarakat mana yang mereka wakili. Sebagai oposisi yang "kritis tapi obyetif," mungkin banyak yang setuju mereka belum mencapai standar yang diharapkan.
Sebagai perbandingan, mari lihat apa yang dilakukan oposisi di negara-negara dengan demokrasi mapan.Â
Oposisi di negara seperti Inggris atau Australia biasanya tidak sekadar membantah kebijakan, tetapi juga menawarkan alternatif yang realistis.Â