Siapa yang tidak kenal dengan nama-nama seperti Amien Rais, Said Didu, Refly Harun, Rocky Gerung, dan Anies Baswedan? Dahulu, mereka berada di lingkaran kekuasaan, atau dalam sistem dan bergaul dengan para elit, bahkan menikmati empuknya kursi jabatan yang membuat mereka dikenal luas di masyarakat. Kini, posisi mereka di masyarakat tidak lagi ditentukan oleh jabatan resmi, melainkan oleh posisi yang sama sekali berbeda: sebagai oposisi, atau lebih tepatnya, barisan "oposisi tersisih."
Ada yang menyebut mereka has-beens, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah penjaga api kritik demokrasi.Â
Tetapi kalau kita perhatikan, pola mereka mirip: tokoh-tokoh ini pernah memiliki posisi penting dalam pemerintahan, tetapi begitu terpinggirkan, mereka seolah menemukan panggung baru sebagai penjaga suara kritis.Â
Mereka menyoroti setiap langkah pemerintah dengan teliti dan, tak jarang, nada sarkasme yang tajam. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini kritik tulus demi kebaikan bangsa, ataukah hanya panggung baru untuk kembali "eksis" di mata publik?
Amien Rais, misalnya, dahulu dielu-elukan sebagai "bapak reformasi" dan pernah menjabat sebagai ketua MPR. Said Didu sempat menduduki jabatan strategis di Kementerian BUMN, begitu pula Refly Harun yang pernah bekerja di Mahkamah Konstitusi (MK) dan menjadi komisaris BUMN.Â
Rocky Gerung yang dikenal sebagai dosen dan intelektual, pernah mengajar di Universitas Indonesia sebelum, konon, "terpaksa" berhenti.
Anies Baswedan, yang dulu menjadi juru bicara Jokowi pada Pilpres 2014, juga pernah merasakan empuknya kursi Menteri Pendidikan sebelum diberhentikan.Â
Demikian pula Roy Suryo, mantan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, serta para mantan ketua KPK dan purnawirawan TNI-Polri yang kini berada di luar lingkaran kekuasaan. Dan seiring waktu, sebagian besar dari mereka kini berbaris sebagai kritikus pemerintah.
Demokrasi Versi Oposisi ala "Tersingkir"
Secara teoritis, demokrasi memerlukan oposisi yang sehat, mereka yang mengingatkan pemerintah, memberikan perspektif berbeda, dan mencegah kebijakan yang berpotensi merugikan rakyat.Â
Tetapi yang terjadi, banyak dari mereka ini lebih sering memposisikan diri sebagai oposisi dengan gaya asal beda. Ketimbang menyoroti isu-isu mendasar yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, seringkali topik-topik kontroversial menjadi senjata utama untuk mengkritik pemerintah.Â