Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Tom Lembong: Benarkah Kebijakan Tidak Bisa Diadili?

1 November 2024   15:51 Diperbarui: 2 November 2024   06:25 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus korupsi yang melibatkan Tom Lembong telah membuka babak diskusi baru tentang apakah kebijakan bisa atau seharusnya diadili. Di satu sisi, ada argumen bahwa Lembong, yang mengeluarkan kebijakan terkait dalam kapasitasnya sebagai pejabat, tidak layak dituduh sebagai koruptor karena yang bersalah adalah para pelaksana kebijakan di lapangan. Di sisi lain, masyarakat mempertanyakan di mana garis batas antara kebijakan yang sah dan tindakan penyalahgunaan wewenang. Apakah benar bahwa kebijakan tidak dapat diadili?

Mengapa Kebijakan Sering Dianggap Kebal Hukum?

Berdasarkan prinsip dasar hukum, kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik untuk kepentingan umum memang tidak seharusnya dikriminalkan. 

Kebijakan yang murni ditujukan untuk kepentingan masyarakat dapat dianggap sebagai bentuk tugas yang dijalankan sesuai mandat jabatan, dan selama tidak terdapat motif kepentingan pribadi atau niat jahat, kebijakan ini umumnya tidak akan berujung pada tuntutan hukum. 

Namun, situasi berubah jika kebijakan tersebut disalahgunakan untuk kepentingan tertentu atau dilakukan dengan motif yang tidak etis.

Dasar Hukum Kebijakan yang Tidak Dapat Dikriminalkan

Secara umum, pejabat publik memiliki wewenang untuk mengeluarkan kebijakan sebagai bagian dari tanggung jawabnya. 

Di Indonesia, prinsip diskresi atau kebijakan diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014, yang memberikan hak kepada pejabat untuk membuat keputusan yang tidak diatur secara eksplisit oleh hukum guna mengatasi masalah yang dihadapi. 

Namun, undang-undang ini juga mengatur bahwa diskresi harus didasarkan pada asas-asas pemerintahan yang baik, termasuk kepastian hukum, keadilan, dan tidak adanya benturan kepentingan.

Dalam hal kebijakan yang bersifat teknis atau operasional, pelaksana kebijakan (aktor teknis) yang menyimpang dari pedoman sering kali dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan atau penyalahgunaan kebijakan. 

Namun, jika kebijakan yang dikeluarkan sejak awal sudah memiliki unsur kepentingan pribadi atau dilakukan dengan niat jahat, maka pejabat yang membuat kebijakan tersebut juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Kasus Tom Lembong: Di Mana Letak Permasalahannya?

Pembela Tom Lembong berpendapat bahwa ia seharusnya tidak disalahkan, sebab tugasnya adalah membuat kebijakan yang semata-mata untuk kepentingan publik. 

Mereka berargumen bahwa kesalahan terletak pada aktor teknis yang menjalankan kebijakan tersebut di lapangan dan mungkin menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi.

Namun, perlu dipahami bahwa suatu kebijakan, terutama yang melibatkan anggaran atau penggunaan dana publik, harus dipertanggungjawabkan hingga ke level pengambilan keputusan. 

Dalam kasus Tom Lembong, apakah kebijakan yang ia buat memang murni tanpa kepentingan pribadi atau ada niat tertentu yang terselip di baliknya? Inilah yang menjadi dasar dari perdebatan tersebut.

Di banyak kasus di Indonesia, pejabat yang kebijakannya terbukti merugikan masyarakat sering kali dapat dijadikan tersangka atau terdakwa, terutama jika ditemukan bukti bahwa kebijakan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. 

Misalnya, pada kasus dana bantuan sosial, beberapa pejabat yang menyelewengkan anggaran dan mengeluarkan kebijakan distribusi yang tidak tepat sasaran akhirnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan.

Batasan Kebijakan yang Bisa dan Tidak Bisa Dikriminalkan

Dalam konteks hukum, terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan utama apakah sebuah kebijakan dapat dikriminalkan atau tidak:

Motif dan Tujuan Kebijakan: Kebijakan yang dikeluarkan dengan tujuan murni untuk kepentingan bersama dan tanpa kepentingan pribadi tidak seharusnya diadili. Namun, jika kebijakan tersebut bertujuan untuk menguntungkan individu atau kelompok tertentu, hal ini dapat menjadi dasar untuk pertanggungjawaban hukum.

Pelaksanaan Kebijakan: Kadangkala, kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang baik dan sah. Namun, pelaksanaan yang buruk oleh para pelaksana teknis dapat menimbulkan kerugian atau penyimpangan. Dalam kasus seperti ini, biasanya aktor teknislah yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Potensi Kerugian Negara: Jika kebijakan terbukti menyebabkan kerugian bagi negara atau masyarakat secara langsung, dan pejabat pembuat kebijakan tidak bisa membuktikan bahwa kebijakan tersebut dilakukan dengan niat baik, maka kebijakan tersebut bisa menjadi objek pemeriksaan hukum.

Mengapa Diskusi Ini Penting?

Diskusi tentang apakah kebijakan bisa diadili atau tidak sangat penting bagi edukasi publik. Banyak masyarakat yang masih bingung mengenai batasan pertanggungjawaban pejabat publik. 

Mereka berhak mengetahui kapan pejabat harus bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, terutama jika kebijakan tersebut berdampak luas pada masyarakat.

Objektivitas dalam melihat kasus seperti ini sangat penting. Publik tidak boleh mudah tergiring opini yang membela atau menyalahkan seseorang tanpa dasar yang jelas. 

Kita harus memahami perbedaan antara kebijakan yang murni untuk kepentingan umum dan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan pribadi.

Meskipun kebijakan secara prinsip tidak dapat dikriminalkan, namun dalam kondisi tertentu pejabat publik bisa dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan yang terbukti merugikan negara atau masyarakat. 

Kebijakan yang memang dari awal diniatkan untuk kepentingan pribadi atau untuk tujuan jahat jelas bisa dibawa ke ranah hukum. 

Namun, jika kebijakan yang dibuat memang bertujuan untuk kebaikan bersama, dan masalah justru muncul pada pelaksanaan di lapangan, maka yang seharusnya bertanggung jawab adalah aktor teknis di lapangan, bukan pembuat kebijakan.

Diskusi tentang kasus Tom Lembong ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk memahami batasan dan tanggung jawab pejabat publik. 

Dengan pemahaman yang tepat, kita dapat menghindari kesalahpahaman yang dapat merugikan reputasi seseorang tanpa dasar yang jelas, serta dapat mencegah upaya pembelaan yang justru seolah melindungi koruptor. 

Masyarakat juga harus dididik untuk mendapatkan informasi yang benar dan melihat kasus-kasus serupa dengan perspektif yang objektif dan informatif.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun