Kasus Tom Lembong: Di Mana Letak Permasalahannya?
Pembela Tom Lembong berpendapat bahwa ia seharusnya tidak disalahkan, sebab tugasnya adalah membuat kebijakan yang semata-mata untuk kepentingan publik.Â
Mereka berargumen bahwa kesalahan terletak pada aktor teknis yang menjalankan kebijakan tersebut di lapangan dan mungkin menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi.
Namun, perlu dipahami bahwa suatu kebijakan, terutama yang melibatkan anggaran atau penggunaan dana publik, harus dipertanggungjawabkan hingga ke level pengambilan keputusan.Â
Dalam kasus Tom Lembong, apakah kebijakan yang ia buat memang murni tanpa kepentingan pribadi atau ada niat tertentu yang terselip di baliknya? Inilah yang menjadi dasar dari perdebatan tersebut.
Di banyak kasus di Indonesia, pejabat yang kebijakannya terbukti merugikan masyarakat sering kali dapat dijadikan tersangka atau terdakwa, terutama jika ditemukan bukti bahwa kebijakan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.Â
Misalnya, pada kasus dana bantuan sosial, beberapa pejabat yang menyelewengkan anggaran dan mengeluarkan kebijakan distribusi yang tidak tepat sasaran akhirnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan.
Batasan Kebijakan yang Bisa dan Tidak Bisa Dikriminalkan
Dalam konteks hukum, terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan utama apakah sebuah kebijakan dapat dikriminalkan atau tidak:
Motif dan Tujuan Kebijakan: Kebijakan yang dikeluarkan dengan tujuan murni untuk kepentingan bersama dan tanpa kepentingan pribadi tidak seharusnya diadili. Namun, jika kebijakan tersebut bertujuan untuk menguntungkan individu atau kelompok tertentu, hal ini dapat menjadi dasar untuk pertanggungjawaban hukum.
Pelaksanaan Kebijakan: Kadangkala, kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang baik dan sah. Namun, pelaksanaan yang buruk oleh para pelaksana teknis dapat menimbulkan kerugian atau penyimpangan. Dalam kasus seperti ini, biasanya aktor teknislah yang akan dimintai pertanggungjawaban.