Baru-baru ini, Indonesia kembali dihebohkan dengan kabar kebocoran data pribadi dalam jumlah yang sangat besar. Sebanyak 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bocor dan dijual di pasar gelap.Â
Lebih mengejutkan lagi, data yang bocor tidak hanya milik warga biasa, tetapi juga termasuk data pribadi Presiden beserta keluarganya, serta Menteri Keuangan.Â
Berita ini menyita perhatian publik dan menimbulkan keresahan besar, khususnya mengenai perlindungan data pribadi di Indonesia.Mengapa Hal Ini Terus Terjadi?
Kasus kebocoran data pribadi bukanlah hal baru di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, kita sudah terlalu sering mendengar kebocoran data dari berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta.Â
Mulai dari data pelanggan layanan telekomunikasi hingga data peserta BPJS Kesehatan. Ada pola yang mengkhawatirkan di sini: mengapa kebocoran data ini terus berulang?
Ada beberapa alasan yang mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama, kurangnya kesadaran dan prioritas dari instansi terkait terhadap pentingnya perlindungan data pribadi.Â
Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru disahkan pada 2022, pelaksanaannya tampak masih lemah.Â
Seolah-olah ada sikap "masa bodoh" terhadap keamanan data, di mana lembaga-lembaga yang seharusnya bertanggung jawab kurang serius dalam menerapkan kebijakan keamanan yang memadai.
Kedua, infrastruktur teknologi dan keamanan siber yang masih lemah. Di era digital saat ini, keamanan siber seharusnya menjadi prioritas utama bagi setiap instansi yang mengelola data pribadi.Â
Namun kenyataannya, banyak lembaga di Indonesia yang masih menggunakan sistem teknologi yang usang dan rentan terhadap serangan siber.Â