Namun, beberapa aktivis anti korupsi yang sudah dikenal publik dan mendaftar sebagai calon pimpinan atau Dewas KPK justru sudah gugur pada tahap awal. Ini memunculkan pertanyaan serius mengenai proses seleksi dan kriteria yang digunakan untuk menyaring para calon. Apakah yang dicari benar-benar individu dengan kapasitas luar biasa dalam bidang pemberantasan korupsi, ataukah seleksi ini lebih menitikberatkan pada aspek-aspek lain yang kurang relevan?
Apa Kriteria yang Diperlukan?
KPK bukanlah lembaga biasa. Sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia, lembaga ini membutuhkan pemimpin dan pengawas yang bukan hanya kompeten, tetapi juga memiliki rekam jejak tak bercela dalam integritas dan dedikasi untuk melawan korupsi. Ini berarti, individu yang terpilih harus memiliki beberapa karakteristik kunci:
Kontribusi nyata dalam upaya pemberantasan korupsi. Calon pimpinan dan Dewas KPK idealnya adalah mereka yang telah terbukti memiliki kontribusi nyata dalam upaya pemberantasan korupsi, baik melalui pengalaman di lembaga-lembaga hukum, pengawasan, maupun melalui kerja-kerja aktivisme. Bukan hanya mereka yang pernah menangani kasus-kasus besar, tetapi juga yang berkomitmen pada agenda reformasi di sektor hukum dan pemerintahan.
Independensi dan Netralitas. Mengingat tantangan besar yang dihadapi KPK, terutama dalam menghadapi tekanan politik dan kekuatan oligarki, calon pimpinan dan Dewas haruslah individu yang sepenuhnya independen dan netral. Mereka harus mampu melindungi integritas KPK dari pengaruh eksternal yang berpotensi merusak tugas dan fungsi lembaga ini.
Kredibilitas di Mata Publik
Di tengah keterpurukan citra KPK, salah satu cara untuk mengembalikan kepercayaan publik adalah dengan menghadirkan figur-figur yang memiliki kredibilitas tinggi. Ini tidak hanya berarti dikenal publik, tetapi juga dihormati karena integritas, transparansi, dan keberanian mereka dalam melawan korupsi.
Tantangan Proses Pemilihan
Proses pemilihan pimpinan dan Dewas KPK selalu menjadi sorotan, terutama karena KPK adalah lembaga yang dianggap sebagai benteng terakhir dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam situasi yang rumit seperti ini, penting untuk memastikan bahwa mereka yang terpilih bukan hanya "mencari pekerjaan" atau hanya melihat jabatan di KPK sebagai batu loncatan karier.
Salah satu tantangan dalam proses ini adalah memastikan bahwa kriteria yang digunakan dalam seleksi benar-benar relevan dan selektif. Jangan sampai terpilih mereka yang hanya memenuhi syarat administratif tetapi tidak memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal moralitas dan keberanian.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam memberikan masukan dan memantau proses seleksi menjadi sangat krusial. Transparansi harus dijunjung tinggi agar publik dapat memastikan bahwa yang terpilih adalah individu yang memang layak memimpin dan mengawasi KPK.
KPK dalam Kondisi Terpuruk