Namun areal pertama itu bukan berarti ditinggalkan begitu saja, tapi ditinggalkan dengan sengaja agar lahan itu kembali pulih menjadi hutan sekunder dan setelah siklus kurang lebih 6 - 7 tahun maka akan kembali lagi ke areal yang sama. Lokasi bekas berladang itu dalam bahasa Dayak Pompakng disebut bawas.
Dengan cara ini maka kesinambungan kegiatan berladang dan ketersediaan pangan bisa terjamin.
Prinsip Kolektifitas
Cara untuk mengerjakan kegiatan berladang itu tentu tidak dilakukan sendiri tapi dengan cara gotong royong secara kolektif. Dalam hal inilah prinsip kolektifitas diterapkan.Â
Prinsip kebersamaan itu dilakukan dalam semua tahap kegiatan berladang: menebas, menebang, membakar lahan, menanam, membersihkan gulma atau merumput dan panen.
Prinsip Keanekaragaman
Ada banyak orang yang menuduh bahwa kegiatan berladang yang dilakukan oleh masyarakat Dayak itu telah membahayakan keanekaragaman hayati.Â
Tuduhan ini tidaklah benar. Masyarakat Dayak sangat sadar bahwa jika menghilangkan keanekaragaman hayati sama saja dengan membakar lumbung sendiri.Â
Karena bagi mereka, hutan adalah supermarket di mana mereka bisa mengambil semua kebutuhan harian mereka seperti: sayuran, buah, ikan, daging, obat - obatan dan tempat rekreasi.Â
Dalam masyarakat Dayak yang masih kuat memegang tradisi, tata ruang dan peruntukan areal hutan masih diatur secara ketat. Perijinan dan lokasi setiap kegiatan ditentukan penatua adat yang biasa disebut sebagai temenggung.
Tidak semua areal hutan boleh dijadikan ladang. Ada areal yang tetap dijadikan hutan rimba tempat mereka berburu dan mengambil bahan bangunan dan peralatan transportasi seperti perahu.Â