Jadi dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup dan hasil panen bukan untuk bisnis ataupun dijual, maka pembukaan lahan pun dilakukan dengan luasan yang secukupnya saja.Â
Hal ini juga agar ada tersedia lahan hutan untuk dilakukan rotasi yang cukup agar bawas atau bekas lahan ladang itu cukup waktu untuk memiliki pohon yang cukup besar untuk diladangi kembali. Dengan siklus 6 - 7 tahunan maka diperlukan 6 sampai 7 lahan berladang sebelum kembali lagi ke lahan ladang atau bawas yang pertama.
Prinsip Organik
Dalam berladang tidak digunakan pupuk kimia dan pestisida dan herbisida. Semua dilakukan secara organik.
Untuk pupuk tanaman masyarakat Dayak mengandalkan humus hutan dan tanah atau serasah bakar. Itulah salah satu alasan mengapa ladang dibakar karena selain untuk membersihkan lahan, juga hasil pembakaran dijadikan pupuk tanaman.Â
Untuk menghilangkan rumput di sela - sela padi, rumput - rumput itu dicabut. Tidak digunakan racun rumput karena akan juga menjadikan padi dan tanaman lain di ladang itu akan ikut mati.
Untuk menghindari hama dan penyakit, masa berladang harus dilakukan secara serempak sehingga jikapun ada hama berupa tikus, burung pipit atau monyet yang bisa menggangu hasil panenan maka hama itu akan terbagi ke ladang - ladang lainnya, tidak terpusat ke satu ladang.
Juga karena di sekitar ladang masih ada hutan maka para binatang atau hama itu masih punya sumber makanan dari hutan.
Prinsip Ritualitas
Masyarakat Dayak sangat religius dengan aneka ritual dalam kehidupan keseharian mereka, termasuk dalam hal berladang.Â
Semua tahap dari awal sampai paska panen penuh dengan ritual. Ritual ini adalah sikap masyarakat Dayak atas penghormatan yang sangat tinggi pada hutan dan sumber dayanya yang dirasakan sebagai rahmat dan berkah dari Sang Pemberi dan Pencipta yang biasa disebut dengan aneka nama: Akek Penompa (Dayak Pompakng), Jubata ( Dayak Kanayat'n), Abae Penompo (Dayak Hibutn).