Sumber Photo: https://pagdavidson.wordpress.com
Ada banyak cara untuk menghancurkan KPK seperti yang pernah saya tulis dalam artikel: http://www.kompasiana.com/mariusgunawan/strategi-penghancuran-kpk-dari-dalam-yang-sudah-terbaca_54f8a742a3331107168b469c . Salah satu cara yang paling ampuh adalah memasukkan orang yang kelak menjadi “Kuda Troya”, menghancurkan KPK dari dalam dengan tindakan dan kebijakan yang menghancurkan nama baik KPK. Saat ini, di mana Pansel pimpinan KPK sedang menjaring para pimpinan KPK, adalah masa yang sangat rawan dan kritis.
Kerawanan ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa semakin sedikit orang yang punya nyali untuk mencalonkan diri, karena melihat perlakuan kriminalisasi yang gila-gilaan dilakukan pada para pimpinan KPK. Jika calon itu semakin sedikit maka berarti semakin kecil peluang untuk mendapat calan pimpinan KPK yang berkualitas.
Nampaknya Pansel pimpinan KPK yang telah dibentuk oleh Jokowi sangat menyadari ini. Oleh karenanya selain menampung mereka yang sukarela mencalonkan diri, mereka juga “menjemput bola” lewat jaringan LSM dan institusi keagamaan yang konsern pada pemberantasan korupsi dan institusi penegak hukum untuk mendapat calon-calon terbaik.
Dari cara-cara penjaringan ini, menurut saya, yang paling rawan adalah para calon pimpinan KPK yang dicalonkan dari institusi-institusi penegak hukum yang telah punya konflik dan masalah dengan KPK. Bisa saja calon yang yang mereka ajukan ini sengaja disiapkan sebagai “Kuda Troya” yang akan melumpuhkan KPK dari dalam.
Hal ini bukan isapan jempol karena sudah ada gejala institusi “lawan” KPK tersebut secara terbuka dan institusional telah mengajukan calon pimpinan KPK kepada Pansel.
Mengapa ini bisa dijadikan “lampu merah” peringatan? Ya, tindakan secara institusional mengajukan calon pimpinan KPK ini adalah baru pertama kali dalam sejarah penjaringan calon pimpinan KPK. Memang sudah ada beberapa orang pimpinan KPK yang berasal dari institusi penegak hukum, namun mereka dulu mencalonkan diri secara pribadi, bukan atas penunjukan institusi. Mereka memang minta persetujuan dari institusi mereka berasal namun, sekali lagi bukan atas penunjukkan institusi tersebut.
Dengan ditunjuk oleh institusi, di mana mereka masih aktif, tentu ada kesan bahwa mereka adalah wakil dari institusi yang secara birokrasi akan mengekang independensi mereka kelak. Terutama jika KPK nantinya harus menangani kasus yang melibatkan oknum dari isntitusi bersangkutan.
Hal lain yang dikhawatirkan adalah, (memang belum terjadi), jangan-jangan nanti jika ada konflik dengan KPK, maka institusi merasa berhak untuk menarik pimpinan tersebut dari KPK. Hal itu sebenarnya sudah terjadi dengan para penyidik yang tiba-tiba ditarik yang berkesan “menggembosi” kekuatan KPK.
Tentu yang paling ditakuti dengan cara penunjukkan ini, adalah adanya skenario menyusupkan “Kuda Troya” yang akan menghancurkan KPK dari dalam.
Kecurigaan seperti ini tidak berlebihan karena pada saat ini justru sedang terjadi krisis yang paling radikal di tubuh KPK di mana dipertontonkan secara vulgar institusi anti-korupsi ini sedang menjadi bulan-bulanan kriminalisasi, baik yang terjadi dengan para pimpinannya, dan juga melanda para penyidik KPK.
Lalu bagaimana cara Pansel mencegah hal ini? Tentu yang paling penting adalah dengan menyadari bahaya di atas, proses penyeleksian harus sangat diperketat, terutama terhadap calon pimpinan KPK “titipan”.
Hal yang paling penting dalam penyeleksian ini adalah menyelusuri sejauh mungkin riwayat integritas, jejak kerja dan komitmen para calon ini dalam pemberantasan korupsi. Apakah mereka pernah dicurigai terlibat korupsi dan sejauh mana mereka telah berkontribusi dalam pemberantasan korupsi di institusi mereka sebelumnya? Termasuk dalam kerangka ini, apakah mereka pernah kritis terhadap institusi jika tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan berani mengeluarkan kebijakan atau keputusan yang jernih dan berpihak pada upaya pemberantasan korupsi.
Selain penelusuran integritas dan komitmen, hal yang tidak bisa ditawar adalah jejak kekayaan mereka: apakah harta benda mereka benar-benar bisa dipertanggung jawabkan sebagai hasil normal dari gaji dan penghasilan halal yang wajar. PPATK atau lembaga lain yang kompeten perlu dilibatkan dalam usaha ini.
Walaupun usaha-usaha untuk memastikan kualitas dari calon pimpinan KPK ini tidak hanya bisa dibebankan di pundak para anggota pansel KPK, namun merekalah yang secara formal nantinya memutuskan siapa-siapa saja yang akan diajukan ke DPR untuk dipilih sebagai pimpinan KPK.
Di DPR juga ada masalah tersendiri, di mana dari pengalaman, para anggota DPR biasanya justru menyingkirkan calon yang paling potensial dan berintegritas. Untuk menanggulangi ini, diharapkan pansel nantinya dapat mengajukan para calon yang kurang lebih sama kwalitasnya sehingga siapapun yang dipilih pasti akan bekerja secara berani dan berintegritas memberantas korupsi yang masih menjadi musuh utama bangsa ini.***MG
Bahan Bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H