Mohon tunggu...
Marista Fajar Setiawandani
Marista Fajar Setiawandani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup itu pilihan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Hukum Ekonomi Syariah: Sengketa Waris

29 September 2024   13:17 Diperbarui: 1 Oktober 2024   16:22 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu masalah atau kasus ekonomi syariah yang ada di tengah masyarakat adalah sengketa waris yang melibatkan seorang ibu bernama Kalsum dan anaknya, Mahsun, di Nusa Tenggara Barat (NTB). Berikut adalah analisis terkait kaidah-kaidah, norma-norma, aturan hukum, serta pandangan aliran positivisme hukum dan yurisprudensi sosiologi.

Kasus Sengketa Waris

Kasus ini bermula ketika Kalsum kehilangan suami yang meninggal dunia. Kalsum menerima warisan berupa tanah seluas 4.000 meter persegi. Namun, putranya, Mahsun, tidak memberikan Kalsum uang hasil penjualan tanah tersebut secara adil.

Mahsun menjual tanah warisan Kalsum senilai Rp240 Juta dan hanya memberikan Rp15 juta kepada Kalsum. Uang Rp15 juta itu kemudian dipinjamkan kembali oleh Mahsun untuk membeli motor. Kalsum merasa dirugikan dan tidak diberikan uang yang seharusnya diterimanya sebagai waris.

Kalsum melaporkan Mahsun ke polisi karena dugaan pelanggaran tindak pidana penggelapan harta warisan. Pengacara Kalsum, Anton Hariawan, mengatakan bahwa Kalsum tidak diberikan uang hasil penjualan tanah sesuai dengan tatanan ilmu faraid atau pembagian warisan. Mestinya, Kalsum mendapat setengah dari nilai harta suaminya, tetapi tidak ada uang yang diberikan kepadanya.

Kaidah-Kaidah Hukum yang Terkait

1. Hukum Waris Islam: Mengacu pada ajaran Al-Qur'an dan Hadis, hukum ini menentukan pembagian warisan berdasarkan prinsip faraid, di mana setiap ahli waris memiliki hak yang telah ditentukan secara jelas. Ayat-ayat dari hukum ini adalah: 

  • Surat An-Nisa Ayat 11 dan 12 : Menjelaskan pembagian harta warisan kepada ahli waris, termasuk bagian bagi laki-laki dan perempuan.
  • Surat An-Nisa Ayat 176 : Menegaskan bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris yang memiliki hubungan nasab.

2. Hukum Perdata (KUH Perdata) : pembagian harta waris bagi mereka yang tidak beragama Islam. Dalam Pasal 830 hingga Pasal 1130 KUH Perdata dijelaskan mengenai siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagaimana pembagiannya dilakukan. Hukum ini tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak waris.

3. Hukum Waris Adat : Beragam tergantung pada suku atau daerah tertentu. Hukum adat sering kali tidak tertulis dan mengacu pada tradisi serta norma masyarakat setempat.

Norma-Norma Hukum Yang Terkait Kasus Ini Adalah: 

1. Pasal 852 KUH Perdata : Menyatakan bahwa keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, berhak menjadi ahli waris.

2. Pasal 171 KUH Perdata : mengatur tentang pemindahan hak milik atas harta peninggalan pewaris kepada ahli waris yang berhak.

Aturan-Aturan Hukum

Pembagian harta waris harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik itu hukum Islam, hukum perdata, atau hukum adat. Dalam hal ini, jika Kalsum dan Mahsun mengikuti hukum perdata, maka Pembagian harus dilakukan dengan adil dan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Pandangan Aliran Positivisme Hukum

Positivisme Hukum

Dari perspektif positivisme hukum, fokus utama adalah pada penerapan aturan hukum yang tertulis. Dalam konteks ini, pendekatan positivisme akan menekankan pentingnya mengikuti ketentuan dalam KUH Perdata atau hukum Islam dalam pembagian warisan. Positivisme menilai bahwa keadilan dapat dicapai melalui kepatuhan terhadap norma-norma hukum yang jelas dan terukur.

Pandangan Aliran Yurisprudensi sosiologi.

Yurisprudensi sosiologis memandang hukum bukan hanya sebagai seperangkat aturan yang kaku, tetapi juga sebagai produk dari interaksi sosial. Dalam konteks kasus ini, norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat dapat mempengaruhi cara pembagian warisan yang dilakukan. Misalnya, tradisi dan nilai-nilai kekeluargaan sering kali menjadi pertimbangan utama dalam penyelesaian sengketa waris, di mana mediasi dan musyawarah lebih diutamakan daripada proses litigasi formal.

Yurisprudensi sosiologis mendorong penyelesaian melalui jalur mediasi, yang memungkinkan semua pihak untuk terlibat dalam proses negosiasi dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Yurisprudensi sosiologis juga menekankan pentingnya keadilan sosial dalam pembagian harta warisan. Dalam kasus Kalsum dan Mahsun, jika salah satu pihak merasa dirugikan, maka pendekatan sosiologis akan mendorong upaya untuk memastikan bahwa hak-hak semua ahli waris diakui dan dihormati. Hal ini penting untuk menghindari konflik berkepanjangan yang dapat merusak hubungan keluarga.

Kesimpulannya yaitu: Sudut pandang aliran yurisprudensi sosiologis dalam kasus penyelesaian perang ini adalah tekanan pentingnya interaksi antara hukum dan norma sosial serta budaya dalam penyelesaian konflik. Pendekatan mediasi dan musyawarah menjadi kunci untuk mencapai keadilan dan menjaga keharmonisan keluarga, sehingga hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat penegakan hukum tetapi juga sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan sosial dalam masyarakat.

Identitas penulis

Marista Fajar Setiawandani, NIM 222111244, Kelas 5E HES

Tulisan ini guna memenuhi tugas mata kuliah sosiologi hukum,

Dosen Pengampu: Muhammad Julianto, S.Ag., M.Ag


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun