Malam itu, hujan deras mengguyur kota kecil tempat Deva tinggal. Lelaki berusia 27 tahun itu duduk di ruang tamunya, memandangi tumpukan barang-barang lama yang baru saja ia ambil dari rumah peninggalan orang tuanya. Di antara tumpukan itu, ada sebuah kotak kayu kecil yang tampak usang, dengan kunci yang sudah berkarat.
Deva meraih kotak itu, membersihkan debu yang menutupi ukiran di permukaannya. Ada tulisan kecil yang hampir pudar: "Untuk masa depanmu."
Rasa penasaran menyelimutinya. Ia mencoba membuka kotak itu, tapi terkunci. Setelah mencari-cari kunci kecil di antara barang-barang lain, ia akhirnya menemukannya di dalam amplop tua. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu.
Di dalamnya, hanya ada sebuah jam saku antik. Jam itu berkilauan meski cahaya lampu ruang tamu redup. Ketika Deva memegangnya, jarum jam yang tadinya diam mulai bergerak perlahan, seakan hidup kembali.
Seketika, tubuh Deva terasa ringan, dan dunia di sekitarnya berputar. Ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tempat yang asing namun terasa akrab---sebuah taman kecil dengan pohon beringin besar di tengahnya.
Deva berjalan perlahan, mencoba memahami apa yang terjadi. Suara tawa anak-anak terdengar dari kejauhan. Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sekelompok anak kecil bermain petak umpet di bawah pohon.
Salah satu anak itu menarik perhatian Deva. Ia mengenakan kaus bergaris biru dan celana pendek lusuh---dan wajahnya, wajah itu, adalah wajah dirinya sendiri saat berumur 7 tahun.
Deva tertegun. "Ini... aku?" bisiknya.
Anak kecil itu tidak menyadari kehadiran Deva. Ia terus bermain dengan ceria, tertawa bersama teman-temannya. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Seorang pria tinggi dengan wajah keras mendekat, memanggil nama Deva kecil dengan nada tajam.
"Deva! Pulang sekarang!"
Deva kecil berhenti tertawa. Ia menunduk, menuruti perintah ayahnya. Deva dewasa mengingat momen itu---hari di mana ia pertama kali merasakan ketakutan yang mendalam pada sosok ayahnya.
"Kenapa aku di sini?" Deva bertanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari belakangnya. "Jam itu membawamu ke tempat yang ingin kau pahami."
Deva berbalik dan melihat seorang wanita tua dengan jubah putih berdiri di bawah pohon beringin.
"Siapa Anda?" tanya Deva.
Wanita itu tersenyum samar. "Aku adalah penjaga kenangan. Jam saku itu adalah milik keluargamu. Ia membawamu ke kenangan yang perlu kau pelajari."
Deva mengerutkan kening. "Kenangan? Tapi kenapa aku harus mengingat ini?"
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengulurkan tangannya ke arah Deva. "Ikutlah. Masih banyak yang harus kau lihat."
Deva mengikuti wanita itu, dan dunia di sekitarnya berubah lagi. Kali ini, ia berada di sebuah kamar sempit. Di sudut ruangan, seorang anak lelaki sedang duduk dengan wajah murung. Itu Deva kecil, lagi.
Ia sedang memegang sebuah buku catatan, menulis sesuatu dengan penuh konsentrasi. Di meja kecilnya, ada lilin yang hampir habis, menerangi tulisan tangannya yang rapi.
Deva dewasa mendekat dan membaca apa yang ditulis oleh versi kecil dirinya: "Aku ingin pergi jauh dari sini. Aku ingin bebas."
Hatinya mencelos. Ia ingat malam itu---malam di mana ia bersumpah akan meninggalkan rumah dan mengejar mimpi-mimpinya, apapun risikonya.
"Kenapa kau meninggalkan keluargamu, Deva?" suara wanita tua itu memecah keheningan.
Deva terdiam. Ia mencoba menjawab, tapi tidak tahu harus berkata apa.
Wanita itu melanjutkan, "Ayahmu keras, tapi ia mencintaimu dengan caranya sendiri. Ibuku memberi jam itu untukmu agar kau mengingat asal usulmu. Kau telah melupakan sebagian dari dirimu, Deva. Itulah sebabnya kau merasa hampa hingga hari ini."
Deva teringat pada percakapan terakhirnya dengan ayahnya, lima tahun lalu. Kata-kata yang penuh emosi, kemarahan, dan penyesalan. Setelah itu, mereka tidak pernah berbicara lagi, hingga akhirnya sang ayah meninggal dunia dua bulan lalu.
Jam saku di tangan Deva mulai bergetar. Cahaya terang memenuhi ruangan, dan Deva mendapati dirinya kembali ke ruang tamunya. Hujan masih turun deras di luar.
Deva menatap jam saku itu. Ada rasa hangat yang aneh di dadanya, seolah ia baru saja menerima pesan penting. Ia memutuskan untuk membuka salah satu laci meja dan mengambil sebuah surat yang belum pernah ia baca---surat terakhir dari ayahnya yang ditemukan setelah kematiannya.
Dengan tangan gemetar, Deva membuka amplop itu dan mulai membaca.
"Untuk Deva, anakku...
Aku tahu aku bukan ayah yang sempurna. Aku sering membuatmu merasa tertekan dan tidak dihargai. Tapi ketahuilah, semua yang kulakukan adalah karena aku ingin kau menjadi lebih baik dari diriku. Aku minta maaf karena tidak pernah mengatakan ini sebelumnya. Aku bangga padamu. Selalu bangga."
Air mata mengalir di pipi Deva. Jam saku di tangannya bersinar lembut, seolah memahami emosi yang membanjiri dirinya.
Hari itu, Deva merasa lebih utuh dari sebelumnya. Ia menyadari bahwa untuk maju, ia harus berdamai dengan masa lalunya.
Sumbawa, 26 November 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI