"Kenapa kau meninggalkan keluargamu, Deva?" suara wanita tua itu memecah keheningan.
Deva terdiam. Ia mencoba menjawab, tapi tidak tahu harus berkata apa.
Wanita itu melanjutkan, "Ayahmu keras, tapi ia mencintaimu dengan caranya sendiri. Ibuku memberi jam itu untukmu agar kau mengingat asal usulmu. Kau telah melupakan sebagian dari dirimu, Deva. Itulah sebabnya kau merasa hampa hingga hari ini."
Deva teringat pada percakapan terakhirnya dengan ayahnya, lima tahun lalu. Kata-kata yang penuh emosi, kemarahan, dan penyesalan. Setelah itu, mereka tidak pernah berbicara lagi, hingga akhirnya sang ayah meninggal dunia dua bulan lalu.
Jam saku di tangan Deva mulai bergetar. Cahaya terang memenuhi ruangan, dan Deva mendapati dirinya kembali ke ruang tamunya. Hujan masih turun deras di luar.
Deva menatap jam saku itu. Ada rasa hangat yang aneh di dadanya, seolah ia baru saja menerima pesan penting. Ia memutuskan untuk membuka salah satu laci meja dan mengambil sebuah surat yang belum pernah ia baca---surat terakhir dari ayahnya yang ditemukan setelah kematiannya.
Dengan tangan gemetar, Deva membuka amplop itu dan mulai membaca.
"Untuk Deva, anakku...
Aku tahu aku bukan ayah yang sempurna. Aku sering membuatmu merasa tertekan dan tidak dihargai. Tapi ketahuilah, semua yang kulakukan adalah karena aku ingin kau menjadi lebih baik dari diriku. Aku minta maaf karena tidak pernah mengatakan ini sebelumnya. Aku bangga padamu. Selalu bangga."
Air mata mengalir di pipi Deva. Jam saku di tangannya bersinar lembut, seolah memahami emosi yang membanjiri dirinya.
Hari itu, Deva merasa lebih utuh dari sebelumnya. Ia menyadari bahwa untuk maju, ia harus berdamai dengan masa lalunya.
Sumbawa, 26 November 2024