Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah salah satu mahasiswi semester akhir. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra yang memiliki nilai moral tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Horor: Misteri Kamar Nomor 7

15 Oktober 2024   21:36 Diperbarui: 15 Oktober 2024   21:38 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Langit sore itu berwarna kelabu, dan hujan rintik-rintik jatuh pelan. Dika menatap papan besar di depan penginapan kecil tempat ia berhenti, bertuliskan "Hotel Melati." Ia sedang dalam perjalanan pulang ke kampung setelah bertahun-tahun menetap di kota. Namun, badai tiba-tiba memaksanya mencari tempat bermalam di kota kecil ini.

Pintu hotel berderit saat ia mendorongnya. Di balik meja resepsionis, seorang wanita tua menatapnya dengan tatapan kosong.

"Selamat sore. Ada kamar kosong?" tanya Dika, mengeringkan wajah dengan sapu tangan.

Wanita itu tidak menjawab langsung, hanya memberikan kunci tua dengan gantungan angka 7. "Kamar nomor 7. Jangan terlalu lama di sini," ucapnya dingin.

Dika mengerutkan kening, tapi tidak bertanya lebih jauh. Ia terlalu lelah untuk memikirkan kata-kata aneh wanita itu. Setelah mengangguk singkat, ia naik ke lantai dua.

Kamar nomor 7 berada di ujung lorong. Begitu membuka pintu, Dika disambut aroma kayu lembab dan debu. Kamarnya sempit, hanya berisi ranjang tua, meja kecil, dan cermin di dinding. Tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh---udara di kamar itu terasa begitu berat, seperti menyimpan rahasia.

Ia menaruh tas di lantai dan berbaring di ranjang. Di sudut matanya, ia melihat cermin besar yang menggantung di dinding. Pantulan dirinya terlihat kabur dan sedikit berbeda. Seolah ada sesuatu di balik cermin itu---sesuatu yang mengamati dirinya.

Dika bangkit dari ranjang dan berjalan mendekati cermin. Ia menyentuh permukaannya dengan ragu, dan pada saat itu juga ia merasa dingin menggigit kulitnya. Mendadak ada ketukan dari luar pintu kamar.

"Tok-tok-tok."

Dika membuka pintu, namun lorong di luar kosong. Hanya deretan pintu lain yang terlihat, sunyi tanpa tanda-tanda kehidupan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman. Mungkin hanya halusinasi akibat kelelahan, pikirnya.

Malam semakin larut, tapi mata Dika tak kunjung terpejam. Ia merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres. Sekali lagi ia memandangi cermin di dinding. Dalam pantulan itu, ada bayangan seorang anak kecil berdiri di sudut kamar, meski saat ia berbalik, sudut itu kosong.

Jantung Dika berdetak kencang. Ia kembali melihat ke cermin, dan sosok anak kecil itu masih ada. Bocah itu mengenakan baju putih, rambutnya basah, dan matanya kosong seperti lubang hitam.

Dika bergidik, lalu dengan cepat menutupi cermin dengan kain tua yang ia temukan di lemari. Ia merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang aneh dengan kamar ini.

Saat akhirnya Dika tertidur, ia terjebak dalam mimpi ganjil. Ia bermimpi berada di lorong yang sama dengan hotel itu, tapi suasananya berbeda---terasa lebih kelam dan dingin. Ia mendengar suara-suara berbisik dari balik pintu kamar nomor 7.

"Dia akan datang... dia akan datang..."

Dika mencoba membuka pintu, tapi sesuatu dari dalam menariknya dengan kekuatan tak kasatmata. Ia merasa jatuh ke dalam kegelapan, dan ketika ia membuka mata, ia sudah kembali di kamar, terengah-engah. Hawa kamar terasa makin berat, dan keringat dingin membasahi tubuhnya.

Esok paginya, Dika turun ke lobi dengan niat meninggalkan hotel. Tapi, rasa penasaran menggerogotinya. Ia menghampiri wanita tua di meja resepsionis.

"Nek, ada yang aneh dengan kamar nomor 7," katanya dengan suara pelan.

Wanita itu menatapnya tajam, seolah sudah tahu apa yang akan Dika katakan. "Kamar itu terkutuk. Sudah puluhan tahun tidak ada yang menginap di sana," ucapnya lirih. "Orang-orang yang pernah tinggal di sana... tidak pernah kembali dengan selamat."

Dika merasa bulu kuduknya meremang. "Apa yang sebenarnya terjadi di kamar itu?" tanyanya.

Wanita tua itu menghela napas panjang. "Bertahun-tahun lalu, seorang anak kecil bernama Arman menginap di kamar itu bersama keluarganya. Saat badai besar melanda, Arman menghilang tanpa jejak. Orang-orang bilang rohnya terperangkap di dalam kamar itu, dan ia selalu mencari seseorang untuk menemaninya."

Meski merasa takut, Dika tak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya. Ia memutuskan untuk kembali ke kamar nomor 7. Ketika ia membuka pintu, ruangan itu terasa lebih dingin daripada sebelumnya, dan kain yang tadi ia gunakan untuk menutupi cermin kini tergeletak di lantai.

Cermin besar itu memantulkan sosok Dika, tapi kali ini bayangannya tersenyum, meski ia sendiri tidak tersenyum.

Dengan hati-hati, ia mendekat ke cermin. Saat ia menyentuhnya, tiba-tiba cermin itu bergetar dan mengeluarkan suara berderak, seolah ada sesuatu yang terperangkap di baliknya.

Tanpa peringatan, cermin itu menyedot Dika ke dalamnya. Ia jatuh ke dalam ruangan gelap dan berdebu. Di dalam cermin, ia melihat kamar nomor 7---tapi kini ia berada di sisi lain. Ia mengetuk permukaan cermin, berusaha kembali, namun sia-sia.

Dari sudut ruangan, ia mendengar langkah kaki kecil. Sosok anak kecil itu muncul dengan senyuman aneh di wajahnya. "Sekarang kamu menemani aku," bisiknya pelan.

Dika mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia sadar bahwa ia telah menggantikan Arman---menjadi bagian dari kutukan yang tak berujung di kamar nomor 7.

Dika berlari mengitari ruangan di dalam cermin, mencoba mencari celah untuk keluar. Namun, setiap kali ia mencoba, ruangan itu berubah bentuk. Tidak ada pintu, tidak ada jalan keluar---hanya kegelapan yang semakin pekat.

Anak kecil itu mendekat, tertawa pelan. "Tidak ada yang bisa kabur dari sini."

Waktu berjalan lambat. Dika tidak tahu berapa lama ia terjebak---jam, hari, atau mungkin bertahun-tahun. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya.

Pagi berikutnya, wanita tua di resepsionis mendengar suara langkah kaki dari lantai dua. Ia mendongak dengan perasaan was-was. Dari tangga, seorang pria turun---tapi itu bukan Dika. Wajah pria itu kosong dan dingin, seperti orang yang telah kehilangan jiwanya.

Tanpa berkata apa-apa, pria itu keluar dari hotel, meninggalkan kunci kamar nomor 7 di meja.

Wanita tua itu menggeleng pelan. "Satu lagi jiwa yang hilang," gumamnya.

Ia tahu, pria itu bukan Dika---melainkan sosok lain yang kini mengenakan tubuhnya. Kutukan kamar nomor 7 masih berlanjut, dan tidak ada yang bisa menghentikannya.

Sumbawa, 15 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun