Cermin besar itu memantulkan sosok Dika, tapi kali ini bayangannya tersenyum, meski ia sendiri tidak tersenyum.
Dengan hati-hati, ia mendekat ke cermin. Saat ia menyentuhnya, tiba-tiba cermin itu bergetar dan mengeluarkan suara berderak, seolah ada sesuatu yang terperangkap di baliknya.
Tanpa peringatan, cermin itu menyedot Dika ke dalamnya. Ia jatuh ke dalam ruangan gelap dan berdebu. Di dalam cermin, ia melihat kamar nomor 7---tapi kini ia berada di sisi lain. Ia mengetuk permukaan cermin, berusaha kembali, namun sia-sia.
Dari sudut ruangan, ia mendengar langkah kaki kecil. Sosok anak kecil itu muncul dengan senyuman aneh di wajahnya. "Sekarang kamu menemani aku," bisiknya pelan.
Dika mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia sadar bahwa ia telah menggantikan Arman---menjadi bagian dari kutukan yang tak berujung di kamar nomor 7.
Dika berlari mengitari ruangan di dalam cermin, mencoba mencari celah untuk keluar. Namun, setiap kali ia mencoba, ruangan itu berubah bentuk. Tidak ada pintu, tidak ada jalan keluar---hanya kegelapan yang semakin pekat.
Anak kecil itu mendekat, tertawa pelan. "Tidak ada yang bisa kabur dari sini."
Waktu berjalan lambat. Dika tidak tahu berapa lama ia terjebak---jam, hari, atau mungkin bertahun-tahun. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya.
Pagi berikutnya, wanita tua di resepsionis mendengar suara langkah kaki dari lantai dua. Ia mendongak dengan perasaan was-was. Dari tangga, seorang pria turun---tapi itu bukan Dika. Wajah pria itu kosong dan dingin, seperti orang yang telah kehilangan jiwanya.
Tanpa berkata apa-apa, pria itu keluar dari hotel, meninggalkan kunci kamar nomor 7 di meja.
Wanita tua itu menggeleng pelan. "Satu lagi jiwa yang hilang," gumamnya.