Jantung Dika berdetak kencang. Ia kembali melihat ke cermin, dan sosok anak kecil itu masih ada. Bocah itu mengenakan baju putih, rambutnya basah, dan matanya kosong seperti lubang hitam.
Dika bergidik, lalu dengan cepat menutupi cermin dengan kain tua yang ia temukan di lemari. Ia merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang aneh dengan kamar ini.
Saat akhirnya Dika tertidur, ia terjebak dalam mimpi ganjil. Ia bermimpi berada di lorong yang sama dengan hotel itu, tapi suasananya berbeda---terasa lebih kelam dan dingin. Ia mendengar suara-suara berbisik dari balik pintu kamar nomor 7.
"Dia akan datang... dia akan datang..."
Dika mencoba membuka pintu, tapi sesuatu dari dalam menariknya dengan kekuatan tak kasatmata. Ia merasa jatuh ke dalam kegelapan, dan ketika ia membuka mata, ia sudah kembali di kamar, terengah-engah. Hawa kamar terasa makin berat, dan keringat dingin membasahi tubuhnya.
Esok paginya, Dika turun ke lobi dengan niat meninggalkan hotel. Tapi, rasa penasaran menggerogotinya. Ia menghampiri wanita tua di meja resepsionis.
"Nek, ada yang aneh dengan kamar nomor 7," katanya dengan suara pelan.
Wanita itu menatapnya tajam, seolah sudah tahu apa yang akan Dika katakan. "Kamar itu terkutuk. Sudah puluhan tahun tidak ada yang menginap di sana," ucapnya lirih. "Orang-orang yang pernah tinggal di sana... tidak pernah kembali dengan selamat."
Dika merasa bulu kuduknya meremang. "Apa yang sebenarnya terjadi di kamar itu?" tanyanya.
Wanita tua itu menghela napas panjang. "Bertahun-tahun lalu, seorang anak kecil bernama Arman menginap di kamar itu bersama keluarganya. Saat badai besar melanda, Arman menghilang tanpa jejak. Orang-orang bilang rohnya terperangkap di dalam kamar itu, dan ia selalu mencari seseorang untuk menemaninya."
Meski merasa takut, Dika tak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya. Ia memutuskan untuk kembali ke kamar nomor 7. Ketika ia membuka pintu, ruangan itu terasa lebih dingin daripada sebelumnya, dan kain yang tadi ia gunakan untuk menutupi cermin kini tergeletak di lantai.