Malam itu, Rina menatap hujan yang jatuh dengan deras dari balik jendela kamarnya. Suara rintik air menimpa atap rumah terasa menenangkan, namun perasaan sepinya semakin menguat. Ini adalah malam yang kesepuluh berturut-turut sejak dia kembali ke rumah orangtuanya setelah beberapa tahun merantau ke kota besar. Di kota, dia merasa hidup, namun di sini, di desa kecilnya, semua terasa lamban dan monoton.
Hujan semakin deras, seolah langit juga ikut merasakan kesedihannya. Rina memejamkan mata, mengingat kembali mimpinya untuk menjadi seorang penulis. Dia selalu bermimpi menulis novel yang dapat menginspirasi orang lain, tetapi sepertinya, semua impian itu kini terpendam di balik rutinitas harian. Kesibukan kota dan segala yang ditawarkannya membuatnya merasa lebih hidup, sementara di desa, hanya ada kenangan masa lalu yang menghantuinya.
Satu-satunya hal yang menghiburnya adalah buku-buku yang tertata rapi di rak kamarnya. Rina mengambil salah satu buku itu, sebuah novel klasik yang pernah ia baca saat masih di sekolah. Saat membuka halaman pertama, ia teringat saat-saat menghabiskan waktu di perpustakaan desa, di mana semua mimpi dan harapan terasa mungkin. Buku itu mengingatkannya pada masa-masa indah ketika dia bercita-cita tinggi dan berani bermimpi.
Namun, saat jari-jarinya menyentuh halaman, terdengar suara ketukan di pintu. Rina tersentak dan menutup buku itu. "Siapa ya?" pikirnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan mendapati sosok seorang pemuda berdiri di depan, basah kuyup oleh hujan. Dia mengenakan jaket hijau tua yang sudah robek di sana-sini, dan wajahnya memancarkan keringat dan lelah.
"Ada apa?" tanya Rina, terkejut.
"Saya... saya Tio. Teman adikmu. Maaf mengganggu, tapi bisakah saya berteduh sejenak?" katanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.
Rina merasa ragu, namun melihat ekspresi panik di wajah Tio, ia akhirnya mengangguk dan mempersilakan masuk. "Silakan, masuk saja."
Tio masuk dan menggetarkan jaketnya, memercikkan air ke lantai. Rina menunjukkan tempat duduk di meja kecil di sudut kamar. Tio duduk dengan berat, seolah beban di pundaknya terlalu berat untuk diangkat. Rina mengambil handuk dan memberikannya kepada Tio.
"Terima kasih," kata Tio, sambil mengusap wajahnya yang basah.
Mereka berdua terdiam dalam suasana hening. Rina memerhatikan Tio dari sudut mata. Dia ingat adiknya pernah menyebut tentang Tio---sosok yang selalu ceria dan penuh energi. Namun sekarang, Tio tampak berbeda. Wajahnya yang tampan terlihat letih, dan matanya kehilangan kilau.