Di ujung sebuah desa yang terletak jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri sebuah rumah tua yang dikelilingi oleh pepohonan besar yang menjulang tinggi. Rumah itu sudah lama tidak berpenghuni, dan tidak ada satu pun warga desa yang berani mendekat. Konon, rumah tersebut dihuni oleh makhluk-makhluk tak kasat mata yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang punya kemampuan khusus.
Anehnya, setiap kali orang lewat di dekat rumah itu, mereka merasakan hawa dingin yang merambat hingga ke tulang. Beberapa orang bahkan mengaku mendengar suara-suara aneh, seperti langkah kaki atau bisikan yang tak jelas asalnya.
Namun, tak ada satu pun yang berani membuktikannya---sampai datangnya Raka, seorang peneliti paranormal muda yang sedang mencari objek penelitian untuk tesisnya. Raka sudah sering mendengar cerita tentang rumah tua itu dari penduduk setempat. Sebagai orang yang tidak mudah percaya pada hal-hal gaib, ia merasa tertantang untuk membuktikan bahwa rumah tua itu hanyalah bangunan kosong biasa.
Suatu malam, Raka memutuskan untuk mengunjungi rumah itu sendirian. Ia membawa peralatan perekam suara, kamera, dan beberapa alat lainnya yang biasa digunakan oleh para peneliti paranormal. Meskipun ia seorang skeptis, tak ada salahnya berjaga-jaga, pikirnya.
Malam itu, suasana sangat sepi. Bulan bersinar pucat di langit, dan angin malam berdesir lembut di antara dedaunan. Raka melangkah dengan hati-hati mendekati gerbang rumah tua tersebut. Gerbang besi berkarat itu tampak kokoh, meski terlihat sudah sangat lama tidak dibuka. Dengan susah payah, ia berhasil membuka gerbang yang berderit keras, menambah suasana menyeramkan di sekitarnya.
Di depan rumah, halaman luas dipenuhi rumput liar dan ilalang. Raka menyalakan senter dan berjalan pelan-pelan menuju pintu utama. Tiba-tiba, ia merasakan angin dingin menyusup ke tengkuknya, membuat bulu kuduknya berdiri. Namun, ia tetap melangkah dengan tegar.
Pintu rumah tua itu tidak terkunci. Dengan sekali dorong, pintu kayu besar itu terbuka lebar, memunculkan aroma lembap dan debu yang pekat. Raka menyalakan lampu sorot di kameranya dan mulai merekam setiap sudut rumah. Di ruang tamu, furnitur tua yang tertutup debu masih tersusun rapi, seolah pemilik rumah hanya pergi untuk sementara waktu.
Tiba-tiba, terdengar suara samar dari lantai atas. Seperti langkah kaki. Raka menghentikan langkahnya, mencoba mendengar lebih jelas. Suara itu terdengar lagi---lebih jelas, lebih dekat. Dengan sedikit ragu, ia memutuskan untuk naik ke lantai dua, meski jantungnya mulai berdebar kencang.
Tangga kayu tua itu berderit di setiap langkah yang diambil Raka. Di lantai dua, suasana terasa lebih dingin dan sunyi. Ada beberapa kamar di sana, dan salah satu pintu kamar tampak sedikit terbuka. Dengan hati-hati, Raka mendorong pintu itu.
Di dalam kamar, ia melihat sebuah ranjang tua dengan seprai yang sudah kusam. Tidak ada yang aneh, sampai tiba-tiba suara langkah kaki terdengar lagi---kali ini dari belakangnya. Raka menoleh cepat, namun tidak ada siapa pun di sana. Ia mulai merasa gugup, tapi tetap berusaha berpikir rasional.
Ia melangkah keluar dari kamar itu dan memutuskan untuk mengeksplorasi ruangan lainnya. Namun, baru beberapa langkah keluar, tiba-tiba semua lampu sorotnya mati. Hanya kegelapan yang menyelimuti.
"Ah, sial! Baterainya habis?" gumam Raka sambil meraba-raba tasnya untuk mengambil senter cadangan.
Namun, saat ia menyalakan senternya, ia mendapati sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di ujung koridor, sosok hitam tinggi berdiri diam, menatap ke arahnya. Mata sosok itu merah menyala, dan wajahnya begitu suram, nyaris tanpa bentuk.
Raka tertegun, tubuhnya kaku seolah tidak bisa bergerak. Sosok itu mulai mendekat perlahan. Setiap langkahnya terdengar seperti derak kayu yang terinjak. Hawa dingin semakin terasa menusuk. Raka ingin berlari, tapi kakinya seperti tertancap di lantai. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
Saat sosok itu semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu depan. Raka tersentak dan tubuhnya kembali bisa bergerak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari secepat mungkin menuju pintu keluar. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada yang menariknya dari belakang.
Begitu ia mencapai pintu depan, Raka menoleh sekali lagi ke belakang. Sosok hitam itu sudah tidak terlihat. Nafasnya tersengal-sengal, tapi ia merasa sedikit lega. Namun, lega itu tak bertahan lama. Saat ia membuka pintu untuk keluar dari rumah, ia mendapati sesuatu yang tidak masuk akal.
Di luar pintu, ia melihat... dirinya sendiri. Berdiri di halaman rumah dengan ekspresi kebingungan yang sama seperti yang ia rasakan saat ini. Mata mereka saling bertemu, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Ketika Raka terbangun, ia mendapati dirinya terbaring di lantai ruang tamu rumah tua itu. Kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa lemah. Namun, yang paling mengejutkan adalah ketika ia melihat sekeliling. Rumah itu sudah berubah. Dinding-dindingnya kini bersih, tidak ada lagi debu atau furnitur tua yang berantakan.
"Di mana aku?" pikirnya, merasa bingung.
Suara langkah kaki terdengar lagi dari lantai atas, namun kali ini terdengar lebih berat dan seram. Raka memaksa dirinya untuk bangkit dan segera menuju pintu depan. Namun, pintu itu tidak bisa dibuka. Ia menarik sekuat tenaga, tapi sia-sia. Pintu itu seperti terkunci dari luar.
"Hei! Tolong!" teriaknya, berharap ada yang mendengar.
Langkah kaki itu semakin mendekat, dan hawa dingin mulai merambat lagi ke sekujur tubuhnya. Raka berusaha mencari jalan keluar lain, tapi setiap jendela dan pintu di rumah itu tampaknya tertutup rapat. Langkah kaki itu kini sudah sampai di tangga, dan Raka tahu waktunya tidak banyak lagi.
Dalam kepanikan, ia bersembunyi di balik salah satu sofa di ruang tamu. Nafasnya terengah-engah, berusaha sekuat tenaga agar tidak bersuara. Langkah kaki itu berhenti di depan pintu ruang tamu. Raka bisa merasakan kehadiran makhluk itu di sana, berdiri diam, seolah tahu di mana ia bersembunyi.
Tiba-tiba, sosok itu berbicara. Suaranya berat dan serak.
"Kau... tidak seharusnya berada di sini."
Raka merasa jantungnya hampir berhenti. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha menahan ketakutannya. Namun, tubuhnya gemetar tak terkendali.
Suara langkah kaki itu mulai mendekat lagi, kali ini menuju tempat persembunyiannya. Hanya beberapa detik sebelum makhluk itu menemukannya, Raka merasakan sesuatu menarik tubuhnya dengan kuat dari balik sofa.
Ia terlempar ke arah pintu depan, yang tiba-tiba terbuka lebar. Tanpa berpikir panjang, ia segera bangkit dan melarikan diri keluar rumah. Ia tidak peduli lagi dengan kameranya, alat-alatnya, atau apapun yang tertinggal di dalam. Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah keluar dari rumah itu.
Begitu mencapai halaman, Raka mendapati dirinya kembali berdiri di depan gerbang rumah tua yang sudah berkarat. Malam masih gelap, dan tidak ada siapa pun di sekitarnya. Nafasnya tersengal, dan ia menatap rumah tua itu sekali lagi.
Kini, ia tahu bahwa legenda tentang rumah itu bukan sekadar cerita kosong. Ada sesuatu yang berdiam di sana, sesuatu yang tidak seharusnya diganggu.
Raka meninggalkan desa itu keesokan harinya, bersumpah tidak akan pernah kembali lagi. Namun, selama bertahun-tahun setelah kejadian itu, mimpi-mimpi buruk tentang sosok hitam dan rumah tua itu terus menghantui tidurnya. Dan setiap kali ia bermimpi, ia selalu mendengar suara yang sama, berbisik dari kegelapan.
"Kau... tidak seharusnya berada di sini."
Sumbawa, 25 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H