"Ah, sial! Baterainya habis?" gumam Raka sambil meraba-raba tasnya untuk mengambil senter cadangan.
Namun, saat ia menyalakan senternya, ia mendapati sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di ujung koridor, sosok hitam tinggi berdiri diam, menatap ke arahnya. Mata sosok itu merah menyala, dan wajahnya begitu suram, nyaris tanpa bentuk.
Raka tertegun, tubuhnya kaku seolah tidak bisa bergerak. Sosok itu mulai mendekat perlahan. Setiap langkahnya terdengar seperti derak kayu yang terinjak. Hawa dingin semakin terasa menusuk. Raka ingin berlari, tapi kakinya seperti tertancap di lantai. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
Saat sosok itu semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu depan. Raka tersentak dan tubuhnya kembali bisa bergerak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari secepat mungkin menuju pintu keluar. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada yang menariknya dari belakang.
Begitu ia mencapai pintu depan, Raka menoleh sekali lagi ke belakang. Sosok hitam itu sudah tidak terlihat. Nafasnya tersengal-sengal, tapi ia merasa sedikit lega. Namun, lega itu tak bertahan lama. Saat ia membuka pintu untuk keluar dari rumah, ia mendapati sesuatu yang tidak masuk akal.
Di luar pintu, ia melihat... dirinya sendiri. Berdiri di halaman rumah dengan ekspresi kebingungan yang sama seperti yang ia rasakan saat ini. Mata mereka saling bertemu, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Ketika Raka terbangun, ia mendapati dirinya terbaring di lantai ruang tamu rumah tua itu. Kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa lemah. Namun, yang paling mengejutkan adalah ketika ia melihat sekeliling. Rumah itu sudah berubah. Dinding-dindingnya kini bersih, tidak ada lagi debu atau furnitur tua yang berantakan.
"Di mana aku?" pikirnya, merasa bingung.
Suara langkah kaki terdengar lagi dari lantai atas, namun kali ini terdengar lebih berat dan seram. Raka memaksa dirinya untuk bangkit dan segera menuju pintu depan. Namun, pintu itu tidak bisa dibuka. Ia menarik sekuat tenaga, tapi sia-sia. Pintu itu seperti terkunci dari luar.
"Hei! Tolong!" teriaknya, berharap ada yang mendengar.
Langkah kaki itu semakin mendekat, dan hawa dingin mulai merambat lagi ke sekujur tubuhnya. Raka berusaha mencari jalan keluar lain, tapi setiap jendela dan pintu di rumah itu tampaknya tertutup rapat. Langkah kaki itu kini sudah sampai di tangga, dan Raka tahu waktunya tidak banyak lagi.