"Tia..." aku mulai berbicara, tapi kemudian ragu. Ada banyak hal yang ingin kukatakan, tapi semuanya terasa tak relevan lagi.
"Apa?" tanyanya sambil tersenyum kecil.
"Maaf... atas semuanya. Atas aku yang dulu tak pernah bisa mengikuti apa yang kamu inginkan."
Tia terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Kamu tak perlu minta maaf, Rio. Aku juga punya bagian dari kesalahan itu. Kita hanya... ingin hal yang berbeda."
Aku menunduk, merasakan perasaan yang campur aduk di dalam diriku. Mungkin Tia benar. Kami hanya berbeda. Dan mungkin, pertemuan ini adalah cara semesta memberitahuku bahwa tak apa-apa untuk melepaskan sesuatu yang pernah begitu berarti.
Kami berbicara selama beberapa jam, mengenang masa lalu dan membicarakan kehidupan kami yang sekarang. Tia sudah menikah dan memiliki seorang putri kecil, sementara aku masih sendiri, mencoba menemukan kembali diriku yang hilang. Namun, anehnya, aku tak merasa cemburu atau iri. Aku hanya merasa lega, karena akhirnya kami bisa berbicara seperti dua teman lama yang sudah berdamai dengan masa lalu.
Ketika Tia akhirnya pergi, aku menatap ke arah pantai. Matahari sudah mulai naik tinggi, dan angin sepoi-sepoi berhembus lembut. Aku tahu, pertemuan ini bukan untuk membuka kembali luka lama, tapi untuk menutup bab yang selama ini menggantung tanpa akhir.
Aku tersenyum, merasa beban di dadaku perlahan terangkat. Mungkin, pada akhirnya, kembali bukan tentang menemukan apa yang hilang, tapi tentang menerima bahwa tak semua yang hilang perlu ditemukan kembali.
Sumbawa, 22 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H