Tia berhenti sejenak di pintu, kemudian matanya bertemu denganku. Ada keheningan yang canggung, seolah waktu berhenti sejenak. Dia tersenyum tipis, dan aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan kecil.
Dia menghampiri mejaku dengan langkah pelan, membawa secangkir kopi yang baru saja ia pesan di kasir. "Boleh duduk di sini?" tanyanya lembut.
"Tentu," jawabku, mencoba menyembunyikan kegugupan.
Tia duduk di hadapanku, dan kami terdiam untuk beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikiran kami sendiri. Rasanya aneh bertemu dengannya setelah bertahun-tahun. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Kamu masih di sini, ya?" Tia akhirnya membuka percakapan.
Aku mengangguk. "Aku sempat pergi ke Jakarta, tapi... akhirnya kembali ke sini."
"Kenapa?" tanyanya, matanya menatapku tajam.
Aku terdiam. Sulit untuk menjelaskan semua alasan di balik kepulanganku. "Aku... merasa kehilangan diri sendiri di sana. Di kota besar, semuanya bergerak begitu cepat. Aku tak bisa mengikuti."
Tia mengangguk pelan, seolah mengerti. "Aku juga merasakan hal yang sama di awal. Tapi, lama-lama, aku mulai terbiasa. Jakarta memang keras, tapi di sana aku menemukan banyak hal yang aku cari."
Aku tersenyum pahit. "Aku senang kamu menemukannya."
Kami kembali terdiam, tapi kali ini keheningan itu tak terlalu canggung. Ada rasa saling mengerti di antara kami, meski tanpa kata-kata. Mungkin karena kami pernah berbagi masa lalu yang sama, meski kini hidup kami sudah berbeda arah.