Pada hari keberangkatan Bima, seluruh desa berkumpul di rumahnya untuk mengucapkan selamat jalan. Anisa datang, tetapi ia berdiri di belakang kerumunan, tidak berani mendekat. Ia hanya memandangi Bima dari kejauhan, berharap waktu bisa berhenti sejenak.
Ketika kerumunan mulai bubar, Bima melihat Anisa dan mendekatinya. "Anisa, terima kasih sudah datang," kata Bima sambil tersenyum. Namun, senyum itu tidak bisa menyembunyikan kesedihan di matanya.
"Selamat jalan, Kak Bima," kata Anisa pelan. "Semoga Kakak sukses di sana."
Bima mengangguk. "Terima kasih. Aku akan merindukan desa ini... dan juga kamu, Anisa."
Perkataan itu membuat jantung Anisa berdegup kencang, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya tersenyum kecil, meski hatinya penuh dengan kegelisahan.
Bima pergi meninggalkan desa, dan Anisa kembali ke rutinitasnya. Namun, ada yang hilang. Setiap kali duduk di bawah pohon besar, ia merasa ada kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan. Gambarnya tidak lagi seindah dulu. Langit yang ia gambarkan kini selalu tampak suram dan kelabu.
Musim demi musim berlalu, dan Anisa tetap di desa. Ia tidak pernah mendengar kabar dari Bima lagi. Namun, dalam hatinya, ia selalu berharap bahwa suatu hari, mereka akan bertemu lagi.
Tiga tahun berlalu sejak Bima meninggalkan desa. Anisa kini sudah beranjak dewasa. Kehidupannya masih sama---membantu orang tuanya di rumah, berjualan di pasar, dan sesekali menggambar di bawah pohon besar. Namun, dalam diam, ia terus merindukan seseorang yang mungkin sudah melupakan desa kecil ini.
Suatu hari, ketika Anisa sedang berada di pasar, ia mendengar percakapan dua orang wanita yang berdiri di dekatnya.
"Katanya, anak Pak Darma mau menikah," kata salah satu wanita.
Anisa tertegun. "Anak Pak Darma? Bima?" batinnya.