"Ini sangat bagus, Anisa," puji Bima. "Aku tidak tahu kamu bisa menggambar seindah ini."
Wajah Anisa memerah, tetapi ia hanya tersenyum kecil. "Terima kasih, Kak. Aku hanya menggambar apa yang kulihat."
"Kamu punya bakat," lanjut Bima. "Kamu harus melanjutkan ini. Mungkin suatu hari nanti gambarmu bisa dipajang di galeri seni."
Anisa tertawa pelan. "Aku hanya menggambar untuk bersenang-senang, Kak."
Namun, sejak hari itu, Bima mulai sering menghampiri Anisa. Mereka sering duduk bersama di bawah pohon besar itu, berbicara tentang banyak hal. Bima bercerita tentang pengalamannya di kota, tentang bagaimana kehidupan di sana jauh lebih cepat dan lebih sibuk dibandingkan desa. Anisa mendengarkan dengan antusias, meski ia sendiri tidak pernah membayangkan tinggal di kota yang begitu ramai.
Waktu berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Anisa mulai merasa ada sesuatu yang berbeda setiap kali bersama Bima. Namun, ia tidak pernah berani mengungkapkannya. Di balik sikap ramahnya, Anisa masih gadis pemalu yang takut mengutarakan perasaannya.
Suatu hari, Bima datang membawa kabar yang mengejutkan. "Aku akan kembali ke kota, Anisa," katanya pelan. "Aku diterima bekerja di sana."
Anisa terdiam, menatap wajah Bima yang tampak serius. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba muncul di hatinya, tetapi ia berusaha menahannya. "Kapan Kak Bima pergi?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
"Minggu depan," jawab Bima.
Anisa hanya mengangguk, menunduk, dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Perasaan hampa mulai menguasainya. Ia tidak menyangka bahwa perpisahan ini akan datang secepat ini.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Anisa tidak bisa mengusir kesedihan yang terus menghantuinya. Setiap kali ia melihat langit, perasaannya semakin kacau. Langit yang biasanya memberinya kedamaian kini terasa jauh dan tak terjangkau. Ia tahu Bima harus pergi untuk mengejar mimpinya, tetapi sulit baginya untuk menerima kenyataan itu.