Mohon tunggu...
Marisa Rayhani
Marisa Rayhani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perbaiki Generasi Saat Ini dan Nanti dengan Kesadaran Jalani Setiap Peran

15 April 2019   12:17 Diperbarui: 5 Mei 2019   12:06 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membangun generasi dimulai dari orang tua

Seorang perempuan, campur aduk emosinya merespon berita penganiayaan oleh sekelompok perempuan belia yang hanya berani dia baca cepat, melewatkan setiap detil rangkaian kata si penulis berita.

Dia yang kini perempuan dengan tiga anak, seketika tersedot pada ingatan masa-masa sekolah belasan tahun silam. Teringat menjadi sasaran perilaku tidak sopan dan menyaksikan perundungan disekitar.

---

Orang tua memilihkannya SD dengan lokasi mudah ditempuh dari rumah agar tak jenuh enam tahun perjalanan pulang pergi. Heterogenitas pada teman-teman yang menjadi lingkungan sehari-hari nya setelah keluarga inti. Ada anak pemalu tak banyak tutur - sikap hingga anak dengan sikap agresif bahkan intimidatif.

Dalam lingkungan rumah bersama keluarga intinya, mereka dicontoh - ajarkan bersikap baik. Hingga satu peristiwa memberi perempuan tersebut pelajaran berbeda dan mengkatalis perubahan: benar-benar berani dan bersikap tegas pada orang lain untuk keselamatan diri.

Kejadian dibuntuti ke toilet dan percobaan mengintip.

Apa perasaan yang pertama muncul:

takut - malu untuk menghadapinya dan khawatir jika melapor tidak dipercayai atau dipermalukan atau disakiti pelaku, lalu ingin menangis,

Bagaimana dia menyikapi:

menahan tangis, mengubah jadi tarikan nafas dalam mengumpulkan kekuatan, memberanikan diri untuk menghadapi dan bicara "perbuatan kamu salah dan harus dihukum", lalu langsung lapor ke guru.

Kemudian dia memilih SMP dan SMA berikut konsekuensi berjuang masuk, bertahan di dalam nya hingga harus lulus dengan baik. Sekolah dengan banyak anak "borju", dari orang tua berpangkat - berkedudukan - berkecukupan materi (bukan dia yang cuma remahan, si anak biasa-biasa, biasa kemampuan akademik- biasa keluarganya- biasa parasnya). Anak-anak yang menunjukkan eksistensi dengan hal-hal yang mereka peroleh dari orang tua, berbentuk senioritas, gank, populer/ gaul yang mayoritas karena materi (fisik dan ekonomi). Pergaulan semacam seleksi alam, "borju-gorjes nge-gank" secara naluriah merasa lebih kuat dibanding kebalikannya.

Peristiwa "labrak" yaitu konfrontasi dengan kekerasan verbal seperti mengata-ngatai atau merendahkan. Untung dia tak pernah melihat kekerasan fisik berupa baku hantam, paling deg-degan yang dia saksikan adalah percobaan melukai dengan melempar batu dan merusak kendaraan.

Dia, si anak biasa-biasa punya banyak waktu memproses pengalaman mata dan telinga menjadi pemikiran seputar akar penyebabnya. Eksistensi seperti itu semacam unjuk kemampuan dan kekuatan (fisik, sosial, ekonomi). Namun yang dia lihat sesungguhnya adalah anak-anak yang berlindung dibalik rasa aman karena kemampuan orang tuanya dan mampu tampil berani ketika bersama/ berkelompok. Kepribadian "berkedok" yang sejatinya lemah, pengecut, dan manja. Maka dulu dia tak ambil pusing dengan hingar bingar "sosialita" di depan mata.

Meski demikian, tak sedikit keberadaan anak berkarakter baik di sekolahnya. Tampak matang dengan sikap dan cara interaksi bersahaja, apalagi kemampuan akademis luar biasa.

---

Tampaknya setelah bertahun-tahun perempuan itu lulus sekolah, fenomena lakon agresif, intimidatif, dan kepopuleran materi  masih dengan kemiripan latar hanya berbeda kemasan perubahan sosial. Sampai pada tragedi membuat geram, ngilu, dan melukai hati banyak orang yang sempat ramai diberitakan tempo lalu.

Dengan cepat banyak tulisan dari pemikiran yang lebih komprehensif dan ahli di bidangnya merespon kejadian tersebut. Insight yang dia tangkap dari beberapa tulisan adalah: peran orang tua.

Apa yang tampak pada anak-anak masa kini?

Sulit diatur atau berani membentak orang tua dan guru?

Berkata dan berbuat kasar dalam pergaulan?

Coba perilaku berisiko (alkohol, napza, seks tidak aman) dan kekerasan lebih cepat dari yang kita bayangkan?

Public figure mengumbar matrialistis dan sikap konsumtif yang menjadi role model mereka?

Dengan fenomena tersebut, dimana bimbingan orang tua?

Apa pernah lihat dewasa belakangan ini?

Publikasi atas pencapaian materi kekinian atau mesra berlebihan?

Curhat virtual bahkan dapat diketahui seluruh semesta di media sosial?

Gelap mata oleh nafsu pribadi belaka?

Mudah melanggar komitmen dengan bohong dan khianat?

Mudah merusak dan memutuskan hubungan?

Dengan kemirisan tersebut, apakah tidak khawatir dengan peringatan dari majas "guru kencing berdiri, murid kencing berlari"?

---

Berangkat dari pengalaman secuil namun membekas untuk menguatkan tekad, perempuan tersebut merespon dengan penyederhanaan, yaitu:

"jalani setiap peran dengan sadar"

Setiap insan diciptakan dengan fitrah sebagai manusia, dititipkan pada pasangan yang menjadi orang tuanya.

Orang tua lah yang memiliki peran pertama dan utama membangun pondasi pada setiap insan baru.

Orang tua menancapkan iman dan tauhid serta menanamkan syariat dan prinsip.

Tidak sekedar mengatakan, namun memberi teladan pada proses pembelajaran tentang adab dan perilaku di sepanjang kehidupan.

Berarti bahwa orang tua bukan superior, sepanjang hayat nya belajar berkesinambungan bersama anak-anaknya dan membersamai dengan seksama.

Terlebih pula, senantiasa berhijrah lebih baik dengan meraih ilmu dan mengamalkan adalah langkah manusia mengisi kehidupan.

Begitulah orang tua, menyiapkan anak dengan kecukupan bekal utama.

Sebesar-besarnya berlindung pada ALLAH sepanjang menjalankan amanah.

Saat dunia anak bertambah luas, lebih dari sekedar keluarga intinya, tak dapat dipungkiri segala indera nya menangkap berbagai fenomena dengan nilai atau konsep berbeda.

Komunikasi dan diskusi saling nyaman adalah penawarnya.

Selalu ingat untuk sama-sama berpegang pada pondasi dan tujuan utama hidup di dunia dengan pengaturan niat disetiap tindakan.

Senantiasa berdoa pada ALLAH agar anak dijaga dengan keyakinan dan mampu bedakan hak dan bathil.

Tidak tepat hanya memberi kebutuhan dan keinginan anak tanpa mendidiknya.

Tidak tepat melepaskan anak pada kehidupan sosial tanpa seksama membersamainya.

Anak diberi teladan dalam menempatkan diri dan berinteraksi.

Beri teladan dan didik anak untuk berani - teguh pada kebaikan, tidak mudah terpengaruh.

Termasuk membuat pilihan dengan pertimbangan lebih banyak manfaat, jauhi mudharat.

Jaga dan didik anak menjaga aurat nya dan memperlakukan orang lain dengan baik.

Orang tua juga bersama-sama dengan anak untuk bijak mempublikasi keseharian dan isi hati-pikiran tanpa mengumbar aib.

Jauhi sifat pamer dan sombong serta tidak silau materi apalagi menyusahkan diri dengan sekedar penilaian manusia.

Begitulah orang tua dan anak, bersama senantiasa berhijrah lebih baik pada tahapan-tahapan kehidupan menuju tujuan utama yang hakiki.

Maka, apapun peran - impian - pencapaian setiap insan, harus kembali pada kuncinya yaitu kesadaran. Oleh karenanya, hidup menjadi sederhana dengan pondasi dan tujuan utama, tidak terkacaukan oleh hal tak bermanfaat dan merusak.

Mulai saat ini jalani peran diri sendiri dalam hubungan dengan orang terdekat. ALLAH dalam firman NYA menetapkan setiap manusia sebagai khalifah di muka bumi. Berarti bahwa setiap insan harus dipersiapkan dengan bekal yang tepat untuk menggantikan insan-insan pendahulunya mengisi kehidupan di dunia. 

Jangan tinggalkan dunia berisikan generasi yang salah, karena sama halnya dengan melakukan kesia-siaan selama di dunia dan mewariskan dunia tak baik bagi penerus. Maka, perbaikan terhadap generasi saat ini dan nanti dimulai dengan para orang tua yang kembali sadar menjalani peran dan mempersiapkan bekal utama kepada penerusnya.

Marisa Rayhani

Jakarta, April 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun