Mohon tunggu...
Abi Wihan
Abi Wihan Mohon Tunggu... Guru - Teacher

A Great Teacher is Inspiring

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Antara Kebaikan dan Kemunafikan

29 Januari 2025   19:18 Diperbarui: 29 Januari 2025   19:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antara Kebaikan dan Kemunafikan

Belajarlah Berbuat Baik Tanpa Pamrih

Yang terbaik itu yang ikhlas berbuat baik, bukan yang sekadar berpura-pura baik

Kebaikan adalah nilai universal yang diajarkan di berbagai budaya, agama, dan ajaran moral. Sejak kecil, kita diajarkan untuk berbuat baik kepada sesama, membantu orang yang membutuhkan, dan tidak menyakiti orang lain. Namun, dalam praktiknya, tidak semua orang benar-benar memahami makna kebaikan yang sesungguhnya. Ada yang berbuat baik karena tulus ingin membantu, tetapi ada juga yang melakukannya hanya untuk mendapat pengakuan.  

Fenomena berpura-pura baik semakin marak terjadi di berbagai aspek kehidupan. Dalam lingkungan sosial, ada orang yang menunjukkan sikap dermawan ketika sedang diperhatikan, tetapi bersikap acuh ketika tidak ada yang melihat. Di dunia kerja, ada pegawai yang terlihat rajin hanya saat bos ada di kantor. Bahkan dalam dunia digital, banyak orang yang memamerkan aksi kebaikan mereka di media sosial, tetapi di kehidupan nyata, mereka mungkin tidak benar-benar peduli terhadap sesama.  

Dalam ajaran agama, keikhlasan dalam berbuat baik sangat ditekankan. Islam mengajarkan bahwa amal yang diterima adalah yang dilakukan dengan niat yang tulus, bukan karena ingin dipuji. Imam Al-Ghazali berkata, *"Ikhlas adalah meninggalkan pujian makhluk dalam amal perbuatan dan hanya mencari ridha Allah."* Ini menunjukkan bahwa kebaikan sejati bukanlah yang dipertontonkan, tetapi yang dilakukan tanpa pamrih.  

Dampak dari berpura-pura baik bisa sangat merugikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Orang yang sering berpura-pura baik lama-kelamaan bisa kehilangan kepercayaan dari lingkungan sekitarnya. Begitu kepalsuannya terbongkar, orang-orang tidak akan lagi menghormati atau mempercayainya. Sementara itu, bagi orang lain, melihat kepalsuan ini bisa menimbulkan rasa kecewa dan bahkan mengikis kepercayaan mereka terhadap kebaikan itu sendiri.  

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa kebaikan sejati berasal dari hati yang tulus. Bukan tentang seberapa banyak orang yang mengetahui perbuatan baik kita, tetapi tentang bagaimana niat kita dalam melakukannya.

Kebaikan adalah hal yang universal. Setiap orang pasti ingin berbuat baik, baik kepada sesama maupun kepada dirinya sendiri. Namun, tidak semua kebaikan berasal dari hati yang tulus. Ada kebaikan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, dan ada pula yang dilakukan sekadar untuk pencitraan.  

Keikhlasan adalah kunci dari kebaikan yang sejati. Seseorang yang berbuat baik dengan tulus tidak mengharapkan pujian atau balasan. Ia melakukan kebaikan karena merasa itu adalah hal yang benar, bukan karena ingin mendapatkan perhatian atau penghargaan dari orang lain.  

Sebaliknya, ada orang yang berpura-pura baik. Mereka menunjukkan sikap peduli, sopan, dan dermawan hanya ketika ada orang lain yang melihat. Namun, di balik itu semua, niat mereka tidak sepenuhnya murni. Bisa jadi mereka hanya ingin terlihat baik di mata orang lain, atau bahkan memiliki tujuan tersembunyi yang menguntungkan diri sendiri.  

Lalu, bagaimana cara kita membedakan antara kebaikan yang tulus dan yang hanya pura-pura? Dan bagaimana dampaknya bagi diri sendiri dan orang lain? Mari kita bahas lebih dalam.  

Keikhlasan dalam berbuat baik bukan hanya soal tindakan, tetapi juga tentang niat yang tersembunyi di dalam hati. Orang yang ikhlas tidak peduli apakah orang lain tahu tentang kebaikannya atau tidak. Ia tetap akan melakukannya meskipun tidak ada yang melihat.  

Kebaikan adalah sesuatu yang indah. Ia membawa ketenangan bagi pelakunya dan manfaat bagi orang lain. Namun, ada dua jenis kebaikan: kebaikan yang lahir dari hati yang ikhlas dan kebaikan yang hanya sekadar kepura-puraan. Perbedaan keduanya bagaikan air jernih dan fatamorgana---yang satu nyata, yang lain hanya ilusi.

Dalam ajaran agama dan kebijaksanaan para ulama, keikhlasan menjadi dasar utama dalam berbuat baik. Imam Al-Ghazali pernah berkata, "Ikhlas adalah meninggalkan pujian makhluk dalam amal perbuatan dan hanya mencari ridha Allah." Artinya, seseorang yang benar-benar ikhlas tidak berharap tepuk tangan dari manusia. Ia hanya ingin berbuat baik karena itu memang hal yang seharusnya dilakukan.

Namun, di sisi lain, ada orang-orang yang berpura-pura baik. Mereka tersenyum di depan, tetapi memiliki maksud lain di belakang. Dalam Al-Qur'an, Allah telah mengingatkan tentang sifat munafik yang menipu manusia dengan tampilan luar yang baik, tetapi hati mereka penuh kebusukan. Ini bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga menjerumuskan diri sendiri dalam kebohongan yang terus-menerus.

Maka, penting bagi kita untuk merenungkan: apakah selama ini kita sudah berbuat baik dengan ikhlas? Atau jangan-jangan, kita masih terjebak dalam kepura-puraan yang hanya demi citra diri?

"Seorang pemuda bernama Rafi. Ia dikenal sebagai orang yang baik, rajin membantu tetangga, dan sering berbagi dengan orang yang membutuhkan. Namun, ada satu hal yang tidak banyak orang tahu---Rafi melakukan semua itu agar dianggap sebagai orang baik dan mendapatkan pujian.

Suatu ketika, seorang tetangganya yang bernama Pak Hasan jatuh sakit. Rafi datang dengan membawa buah tangan, lalu dengan suara lantang berkata, "Pak Hasan, saya bawakan buah-buahan. Semoga cepat sembuh ya!" Beberapa warga yang melihat kejadian itu pun berbisik, "Wah, Rafi memang baik sekali!" Rafi tersenyum puas, merasa bangga bahwa orang-orang menganggapnya sebagai sosok yang dermawan.

Namun, di balik itu, ada seorang pria tua bernama Pak Rahmat yang diam-diam mengamati Rafi. Suatu hari, Pak Rahmat menegur Rafi dengan lembut, "Nak, kebaikan itu bukan untuk diperlihatkan. Kebaikan sejati adalah yang dilakukan tanpa berharap balasan."

Rafi terdiam. Kata-kata itu terus terngiang di pikirannya. Beberapa hari kemudian, ia kembali ke rumah Pak Hasan, kali ini tanpa ada orang lain yang melihat. Ia membersihkan rumah Pak Hasan, memasak makanan, dan menemaninya berbicara tanpa perlu orang lain tahu. Perlahan, ia mulai memahami arti keikhlasan.

Di saat yang sama, ada pemuda lain di desa itu, Farhan, yang juga sering membantu orang. Namun, ia melakukannya tanpa banyak bicara dan tanpa mencari perhatian. Saat ada yang berterima kasih padanya, ia hanya tersenyum dan berkata, "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan."

Perlahan, orang-orang di desa mulai melihat perbedaan antara Rafi yang dulu dan Farhan. Mereka sadar bahwa kebaikan bukan hanya tentang apa yang tampak di luar, tetapi lebih pada niat yang tersembunyi di dalam hati".

Dari kisah Rafi dan Farhan, kita bisa belajar bahwa keikhlasan adalah kunci dalam berbuat baik. Jika kita hanya berpura-pura baik, cepat atau lambat orang lain akan menyadari kepalsuan kita. Namun, jika kita ikhlas, kebaikan itu akan tetap terasa meski tanpa pengakuan.

Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa keikhlasan adalah inti dari ibadah dan amal. "...ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama,..." (Al-Bayyinah: 5). Ini menjadi pengingat bagi kita bahwa segala perbuatan baik seharusnya berlandaskan ketulusan hati, bukan sekadar mencari pujian.

Kemunafikan dalam kebaikan justru bisa berbahaya. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa penyakit hati yang paling berbahaya adalah kemunafikan, karena ia menipu diri sendiri dan orang lain. Jika terus dibiarkan, seseorang bisa terbiasa berpura-pura hingga lupa bagaimana rasanya berbuat baik dengan tulus.

Setiap orang pasti ingin dikenal sebagai pribadi yang baik. Namun, apakah itu benar-benar karena niat tulus atau sekadar citra diri? Ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab dengan jujur.

Pada akhirnya, kebaikan yang ikhlas akan bertahan lama, sementara kebaikan yang berpura-pura hanya akan hilang seiring waktu. Maka, mari kita berusaha untuk berbuat baik bukan karena ingin dipuji, tetapi karena itu memang hal yang benar untuk dilakukan.  

Kesimpulan

Keikhlasan adalah inti dari kebaikan yang sejati. Orang yang berbuat baik dengan ikhlas tidak mengharapkan pujian, sedangkan orang yang berpura-pura baik hanya mencari perhatian. Dalam kehidupan, kita perlu mengevaluasi niat kita dalam berbuat baik agar tidak terjebak dalam kepalsuan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun