Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Merangkai kata seideal fakta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pencari yang Tak Kunjung Menemukan

10 Oktober 2013   07:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:44 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pertama kali bertemu di pantai Sanur. Kala itu sisa-sisa senja masih tercium walau malam mulai bertahta. Mungkin hari itu adalah hari istimewa bagi kita sehingga lebih panjang dari hari-hari biasa. Saya masih bisa melihatmu dengan jelas berdiri di hadapanku walau jarum  jam tanganku telah menunjuk angka 07.30.

“Saya dengar, kau mantan calon Pastor”

Saya tersentak mendengar kata-katamu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Apakah kau mengenalku? Kau sudah lama tinggal di sini? Beragam pertanyaan menjejali otakku walau tak satupun kudaratkan di telingamu. Karena saya lebih sibuk mengamati tampilanmu. Pangkal buah dadamu menyembul di sela-sela tali kaus you can see-mu. Paha putih mulusmu sungguh indah. Sayang, warna celana super pendekmu tidak sesuai dengan warna kausmu. Biru kau padukan dengan warna merah. Tampaknya kau tidak memilikisense of fashion yang bagus.

“Saya pernah membuat penelitian tentang psikologi biarawan-biarawati”

Saya makin bingung dan terkejut. Sungguh, saya tidak mengerti arah pembicaraanmu. Kau bagaikan bidadari yang turun dari kahyangan. Tiba-tiba nongol di hadapanku. Tanpa salam perkenalan. Tanpa basa-basi pembuka pembicaraan, kau menjejaliku dengan kisah-kisahmu.

Rasa terkejutku belum selesai kau menggenggam tanganku dan menarikku pelan. Entah kenapa sayapun menurut. Kita berjalan beriringan bagaikan sepasang kekasih meninggalkan pantai yang telah memberi berjuta kemesraan dan romantisme.

“Saya tinggal 2 bulan di biara di Perugia. Satu bulan di biara di  Spoleto. Keduanya di Italia. Selanjutnya saya mengembara di Perancis dan tinggal di biara di Reims….…”

Sepanjang jalan kau tak henti-hentinya berceloteh. Berkisah tentang pengembaraanmu mulai dari Eropa, Amerika Latin hingga Asia. Kau terus bercerita. Untunglah bahasa inggrismu nyaris sempurna sehingga aku tahu bahwa kau telah mengunjungi lebih dari selusin biara di 6 negara dan 3 benua.

Saya ingin menyela. Bertanya tentang kesimpulan dari penelitianmu. Tapi kau tak pernah memberi kesempatan.     Kita mampir di sebuah bar di samping Sudamala Villa and Suite. Kau memesan 2 botol bir kecil dan menuntunku ke tempat duduk di pojok kanan.

“Setiap malam saya melihatmu duduk sendirian di pojok ini. Sebotol bir kecil selalu setia menemanimu. Kau tidak pernah minum lebih dari satu botol”

Teka-tekimu terpecahkan. Saya yakin, kau adalah salah satu dari ratusan bule pengujung setia bar ini. Kau tahu tentang aku pasti dari karyawan atau pemilik bar. Saya mengenal mereka semua dan mereka mengenalku. Karena kami sama-sama datang dari Sumatra. Tapi saya tetap penasaran, kenapa kau mencari informasi tentang aku. Apakah semata-semata karena saya selalu duduk sendirian di pojok ini setiap malam dari jam 08.00 hingga 09.30 hanya ditemani sebotol bir kecil? Ah, kau memang sungguh misterius.

“Jadi, bagaimana kesimpulan penelitianmu?”

Saya melupakan senjenak rasa penasaranku tentang dirimu karena  hasil penelitianmu lebih menggugah rasa ingin tahuku. Kau menghidupkan sebatang rokok Dunhill dan mengisapnya dengan tarikan panjang. Asapnya kau hembuskan ke atas. Seakan kau menunggu inspirasi dari langit-langit bar.

“Ketika penelitianku baru mulai, terjadi kecelakaan yang mengoncang seluruh sendi kehidupanku. Saya sungguh terpukul. Semua jadi berantakan”

Matamu berkaca-kaca. Kau membuat tarikan panjang lagi hingga rokokmu tinggal setengah. Asapnya tetap kau hembuskan ke atas. Membubung ke langit-langit.

“Kekasihku, satu-satunya orang yang kucintai di dunia ini, pergi bersama gadis lain. Rasa kehilangan membuatku hampir gila. Saya mulai iri melihat orang-orang dalam biara. Dalam pikiranku, mereka pasti tidak pernah bersedih karena mengalami rasa kehilangan yang mendalam seperti yang kualami. Hati mereka pasti tidak pernah terluka atas nama cinta palsu”.

Jawabanmu sungguh mengecewakan dan melenceng jauh dari harapan. Kukira kau akan membeberkan teori-teori psikologi yang akan mendukung kesimpulan penelitianmu. Kau memang benar-benar misterius.

“Peristiwa itu sungguh membuyarkan konsentrasi dan objektivitas penilaianku selama meneliti. Saya malah lebih banyak mengamati kehidupan mereka dan membandingkannya dengan kehidupan orang kebanyakan karena saya sungguh ingin seperti mereka. Itulah alasan mengapa saya tetap mengembara mengunjungi banyak biara walau penelitian itu telah aku hentikan”

Kita terdiam beberapa saat. Larut dalam pikiran masing-masing. Sesekali kita saling memandang. Saya kesulitan untuk mengartikan  tatapanmu. Senyum yang menghiasi bibirku hanyalah tameng untuk menutupi rasa kikukku.

“Jadi apa kesimpulan dari hasil pengamatanmu?”

Kau mulai tersenyum. Lagi-lagi membuatku semakin penasaran.

“Ah, pasti kau sudah tahu”

“Saya tidak tahu”

“Really? Nanti akan kuceritakan padamu”

Malam makin larut. Saya sungguh menyadari itu karena kesadaranku akan waktu dalam beberapa bulan terakhir meningkat. Jarum jam tanganku telah menunjuk angka 09.25. Sebentar lagi waktuku akan habis.

“Nah, bagaimana tentang dirimu? Mengapa kau keluar dari seminari?”

Senyummu makin ceria. Tatapanmu juga makin jelas. Kau menunggu giliranku untuk bercerita. Secara singkat kuceritakan pengalamanku di Seminari. Pengembaraanku di Flores, daerah penganut katolik terbesar di Indonesia, hingga akhirnya berlabuh di Bali.

“Jadi, bagaimana kesimpulanmu?” tanyamu buru-buru

“Nanti akan kuceritakan padamu”

Saya berdiri, bersiap untuk beranjak dari tempat itu. Tapi kau menggenggam tanganku.

“Duduklah sebentar lagi. Apa yang akan dilakukan seorang pemuda sepertimu sendirian di kamar pada malam seperti ini?”

“Saya harus menulis puisi”

“What? Memangnya berapa lembar mau kau tulis?”

Tidak peduli berapa kata atau kalimat atau lembar yang bisa aku tulis. Yang penting saya harus duduk di meja belajarku tepat pukul 09.45 setiap malam. Itu komitmenku. Hanya itu satu-satunya komitmen yang tersisa dalam diriku sebagai mantan Seminaris. Hanya itu yang bisa aku banggakan karena yang lainnya telah sirna, melebur dalam hiruk pikuk hidup ini. Sebagian memang atas kemauanku sendiri. Tapi sebagian karena terpaksa demi bertahan hidup. Bahkan imanku telah tergadai demi hedonisme dunia.

***

Keesokan harinya saya datang lagi ke bar tepat jam 08.00 seperti malam-malam sebelumnya. Saya memesan sebotol bir kecil. Kau sudah menungguku di pojok. Kita berbasa-basi, kemudian kau bertanya tentang puisi yang aku tulis. Aku keluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tas kecilku berisi puisi-puisi yang sengaja kutulis dalam bahasa inggris agar kau mengerti. Kau membacanya sejenak.

“Kenapa tanggung? Tidak selesai…”

Kau mengambil lembar yang lain dan membacanya. Begitu terus hingga lembar terakhir.

“Semua tanggung. Tak satupun puisimu yang selesai…”

Saya tidak menjawab. Saya sendiripun tidak tahu mengapa saya kesulitan menuliskan bagian akhir dari puisi-puisiku. Kita mendiskusikannya dengan serius.

Keesokan harinya kita bertemu lagi di tempat yang sama dan pada jam yang sama. Kau membawa 3 buku kumpulan puisi yang pernah ditulis dalam biara. Dari situ kita mendapat inspirasi untuk membuat akhir dari puisi-puisiku: kehidupan dalam biara tak seindah yang tampak dari luar.

Kita sepakat, itu adalah akhir yang pas dan sesuai. Kita bersorak kegirangan atas keberhasilan itu. Kau memesan dua gelas long island tea untuk merayakannya.

Lebih satu bulan kita melakukan ritus yang sama. Kita selalu bertemu di tempat yang sama dan pada waktu yang sama. Kita berdiskusi tentang banyak hal. Kuakui kau adalah teman berdisikusi yang menyenangkan. Sayang, kita harus libur beberapa minggu. Saya diutus dari kantor untuk berlayar ke Raja Ampat, Papua menemani beberapa tamu kantor dalam sebuah cruise dari Amerika. Saya sengaja tidak memberitahumu karena satu alasan penting.

Ketika saya berada di tengah samudra sebuah pesan masuk ke dalam ponselku.

“Ketika kita bertemu, sebenarnya saya sedang menjalankan penelitian terhadap para mantan calon pastor sebagai pengganti dari penelitianku yang terdahulu. Tapi kali ini kau yang membuyarkan konsentrasiku dan aku gagal lagi”

Pesanmu membuatku jengkel. Kecewa dan marah. Saya merasa bodoh dan lugu. Tapi sungguh, aku tetap merindukanmu. Merindukan diskusi-diskusi kita.

Saya datang lagi ke tempat itu sepulang dari Raja Ampat. Saya duduk sendirian. Kau tidak pernah datang lagi. Saya merasa kesepian dan sangat merindukanmu. Saya menunggu berminggu-minggu. Kau tak pernah muncul. Saya tidak tahu di mana kau berada. Ponselmu tak pernah aktif lagi. Semua kabur bagiku, sehingga akhirnya kuputuskan untuk melupakanmu. Tapi suatu siang telepon kantor kami berdering berdering, mengoreskan ulang cerita tentangmu dalam benakku.

“Sweet Megan’s Tour and Excursion?”

“Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?”

“Bisa saya bicara dengan Mr. Manalu?”

“Saya sendiri”

“Saya dari  Rumah Jiwa GGNet Belanda. Kami punya pasien bernama Camila van Gemert[1]. Setiap hari dia menuliskan nama anda di dinding. Di saku bajunya kami menemukan bisnis card anda dan kami putuskan untuk menghubungi anda”

“Maaf, saya tidak pernah mengenal orang yang bernama seperti itu”

Saya telah melatih diri untuk melupakan apa tidak perlu saya kenang, tapi akan kubiarkan namamu tertulis dalam puisi-puisi masa laluku. Sekedar untuk mengingatkan bahwa saya tidak terlahir sebagai manusia sempurna.

Saya hanyalah seorang anak yang sedang belajar arti kehidupan. Harta terakhir yang melekat dalam diriku hanyalah kebebasan. Kebebasan untuk membuat kesalahan-kesalahan dan mengukir prestasi-prestasi pribadiku hingga aku insaf arti sejati hidup ini.Trial and error menjadi hal biasa dan prasyarat utama dalam pengembaraanku.

Sanur, 10  Januari 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun