Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menengok Kembali Perjalanan UU KKR

7 November 2019   18:08 Diperbarui: 8 November 2019   14:54 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berencana menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Diketahui, UU KKR pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 lalu. Mahfud mengatakan, kini MK meminta UU tersebut kembali dihidupkan. Menurut Mahfud, sejumlah bagian dari isi dari UU KKR perlu diperbaiki untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Itu penting untuk dibuka lagi Kenapa dulu dibatalkan oleh MK. MK memerintahkan supaya dihidupkan tapi diperbaiki lagi isinya," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/10).

Pembatalan UU KKR terekam dalam surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/PUUIV/2006. Menurut putusan tersebut, pembatalan UU KKR dilakukan berdasarkan hasil uji materi terhadap sejumlah pasal yang termuat dalam produk legislasi tersebut.

Uji materi sendiri dilayangkan pada 28 Maret 2006, oleh delapan orang yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka di antaranya adalah: Asmara Nababan yang mewakili Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Ibrahim Zakir yang mewakili Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Eesther dari Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Rachland Nashidik dari Imparsial.

Kemudian, Soenarno Tomo Hardjono perwakilan Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65, Sumaun Utomo perwakilan dari Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Rahardjo Waluyo sebagai Dajti sebagai korban penculikan aktivis, serta Tjasman Setyo Prawiro sebagai korban peristiwa 65.

Materi UU KKR yang diujikan antara lain yakni Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, dan Pasal 44. Pada Pasal 1 ayat 9, UU KKR memungkinkan pelaku pelanggaran HAM berat memperoleh amnesti dari Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kemudian, Pasal 27 berbicara tentang pertimbangan hukum berupa layanan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, jika permohonan amnesti dari seorang pelaku pelanggaran HAM berat dikabulkan oleh Presiden. Menurut Pasal 19, ketiga layanan tersebut dikerjakan oleh sub komisinya masing-masing. Sebaliknya, jika amnesti tidak dikabulkan, perkara bisa dilanjutkan ke pengadilan HAM ad hoc.

Ada pun Pasal 44 UU KKR menjelaskan bahwa suatu perkara pelanggaran HAM berat tidak bisa diajukan oleh ke pengadilan HAM ad hoc jika terlebih dahulu telah diungkap dan diselesaikan secara 'amicable' oleh petugas komisi. Namun kelonggaran ini tidak berlaku apabila Presiden telah mengabulkan amnesti terkait perkara tesebut.

Gugatan uji materi pun berhasil. Bahkan MK membatalkan seluruh bagian materi UU KKR. Sebagaimana yang tertulis dalam amar putusan, UU KKR dianggap sah bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (rechtsonzekerheid).

Tidak Sesuai dengan Penegakan HAM Internasional

Sebagian besar latar belakakang keputusan MK untuk membatalkan UU KKR menyinggung persepsi internasional berkaitan dengan isu yang sama, yakni penegakan HAM dan peyelesaian pelanggaran HAM berat. 

Pertama, Pasal 1 Ayat 9 UU KKR dinilai tidak sejalan dengan praktik komunitas internasional yang umumnya tidak menyetujui pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran HAM. Putusan MK menghendaki bahwa amnesti perlu dibatasi agar tidak terlalu memberikan keuntungan kepada pelaku pelanggaran HAM.

Terlebih, pengertian 'pelanggaran HAM' dalam UU KKR merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 7 dari UU tersebut, pelanggaran HAM meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua jenis kejahatan tersebut, oleh komunitas internasional, disepakati sebagai kejahatan yang paling serius.

Kedua, Pasal 27 dinilai memiliki kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Putusan MK menjelaskan, di satu sisi amnesti dimungkinkan untuk dikabulkan, dengan syarat pelaku pelanggaran HAM melakukan rekonsiliasi dengan korban dalam bentuk permintaan maaf. MK mengistilahkan ini sebagai pendekatan individual criminal responsibility.

Namun, di sisi lain, para pelaku dan korban dari kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, sangat sulit ditemukan. Dengan demikian sangat tidak mungkin untuk mempertemukan antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM. MK juga berpendapat, dalam pendekatan individual criminal responsibility, amnesti hanya relevan menjadi syarat bagi restitusi saja.

Selain itu, MK berpendapat bahwa adanya amnesti sebagai syarat pertimbangan hukum juga cenderung "mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945," serta tidak sejalan dengan kesepakatan komunitas internasional yang umumnya mengutamakan penegakan hukum yang adil dan proporsional. Seharusnya pelaku pelanggaran HAM tidak memiliki kesempatan pengampunan, serta diadili berdasarkan tingkat pelanggarannya dan ukuran kerugian yang ditimbulkan.

Terakhir, pasal 44. Menurut putusan MK, sangat tidak mungkin KKR menutup penyelesaian perkara pelanggaran HAM secara hukum oleh pengadilan (alternative dispute resolution), hanya melalui cara mengusut suatu perkara terlebih dahulu. Terlebih penegakan hukum yang adil terhadap pelaku pelanggaran HAM telah diatur dalam UU Pengadilan HAM, sehingga penyelesaian oleh KKR tidak bisa memberikan impunitas.

Menurut salah satu penelitian dari Jurnal Mimbar Hukum (2007), sebelum munculnya putusan MK tersebut, lembaga International Center for Transitional Justice (ICTJ) pernah lebih dulu mengkaji UU KKR. Hasilnya, ICTJ mengamini bahwa UU KKR sejatinya bertentangan dengan apa yang diatur dalam sebagian sejumlah hukum intemasional.

Hukum internasional yang dimaksud adalah dalam bentuk sejumlah konvensi internasional, seperti salah duanya adalah Kovenan Internasional bagi Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) serta Konvensi Anti Penyiksaan (Convention against Torture/CAT). Di samping itu, UU KKR juga dinilai bertentangan dengan kesepakatan internasional tidak tertulis lainnya (nontreaty sources), salah satunya Reports and Statements of Principle (prinsip-prinsip hukum intenasional yang termuat dalam berbagai Laporan dan Deklarasi).

Penelitian tersebut menjelaskan, secara garis besar, produk-produk hukum internasional tadi berbicara tentang pentingnya untuk membatasi amnesti dan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat.

Terlalu Buru-buru

Putusan MK membatalkan UU KKR tidak serta merta dinilai bijak. Oleh tidak sedikit pihak, terutama ahli hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), MK dinilai memiliki sikap hukum yang terlalu terburu-buru.

Misalnya, dikutip dari Hukum Online, advokat senior sekaligus pemerhati hukum Todung Mulya Lubis menyatakan prihatin terhadap putusan MK karena dinilainya bersifat ultra petita (mengabulkan melebihi apa yang diminta). Menurutnya, seharunys MK hanya mempersoalkan ketiga pasal yang digugat untuk diperbaiki, alih-alih membatalkan seluruh UU KKR.

"MK memang sekarang mempunyai kebiasaan membuat putusan yang sifatnya ultra petita. Jadi, MK memberikan satu pelajaran untuk tidak konsisten dengan hukum acara," ujarnya pada Desember 2006 lalu, sebagaimana yang dilaporkan oleh Hukum Online.

Sayangnya, lanjut Todung, tidak ada yang bisa dilakukan putusan MK bersifat final dan mengikat. Todung menilai putusan MK yang bersifat ultra petita dapat menjadi bumerang karena MK dapat dipertanyakan eksistensi dan keabsahan putusannya.

Lebih lanjut, Todung berpandangan MK tidak memahami tujuan mulia dibentuknya UU KKR yaitu truth telling (pengungkapan kebenaran) dan healing (penyembuhan) atas pelanggaran HAM masa lampau. Menurutnya keberadaan KKR dapat menjamin terkuaknya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta mengobati luka keluarga korban pelanggaran HAM.

Ada pun LSM, kritikan misalnya datang dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Dalam laporan policy briefnya, Elsam melihat pembatalan UU KKR sebagai "tertundanya keadilan (delay justice) bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu."

Elsam berharap keberadaan UU KKR bisa memperjuangkan kepentingan korban pelanggaran HAM masa lalu. Elsam dalam laporan itu kemudian merujuk pada kesepakatan 'Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law' yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 16 Desember 2005 lalu.

Kurang lebih kesepakatan tersebut menjelaskan bahwa setiap korban pelanggaran HAM berat berhak untuk mendapatkan: (1) akses terhadap keadilan yang setara dan efektif; (2) pemulihan yang memadai, efektif dan cepat atas penderitaan korban; dan (3) akses terhadap informasi yang relevan mengenai pelanggaran dan mekanisme pemulihannya.

Masih dalam laporan yang sama, Elsam juga memaparkan terdapat 17 kelompok korban dari kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. Kasus-kasus tersebut merentang sejak peristiwa 65 sampai peristiwa darurat militer Aceh tahun 2006.

Hanya Bertahan 2 Tahun

Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) sendiri merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Menurut pasal 3 dari UU tersebut, KKR bekerja di luar lingkaran pengadilan. Tugas ini dikatakan "guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa." Selain itu, KKR juga berperan "mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian."

Masih merangkum laporan policy brief milik Elsam, proses pembentukan KKR melewati jalan panjang yang tidak mulus. Sangat disayangkan, lika-liku yang harus dihadapi untuk membentuk KKR, menjadi seakan tidak setimpal karena lembaga yang didesain untuk setingkat dengan KPK ini bekerja tidak lebih dari dua tahun.

Inisiatif tentang dibentuknya KKR pertama kali muncul pada tahun 2000. Kala itu, pembentukan KKR termasuk dalam upaya penyelesaian masalah masa lalu sebagai bagian dari agenda reformasi nasional. Kemudian, KKR mendapatkan legalisasi ketika MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor V/MPR/2000 yang menugaskan Presiden dan DPR untuk melakukan mewujudkan UU KKR.

Ditengah penggodokan draft RUU KKR, Pemerintah dan DPR berjanji kepada masyarakat Papua untuk mempertanggungjawabkan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Bumi Cendrawasih, melalui KKR sebagai salah satu instrumennya. Janji itu juga dituangkan dalam UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Pasal 46 dari UU Otsus Papua menyatakan KKR dibentuk untuk "melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa" (ayat 1). Selain itu, juga dikatakan bahwa KKR bertugas "merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi" (ayat 2).

Pembahasan pun mulai dilakukan pada tahun 2003. DPR kala itu membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang berisikan 50 individu lintas fraksi. Pembahasan sempat melalui proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan lebih dari 50 kelompok dan indvidu. Walhasil, RUU KKR baru resmi disahkan menjadi UU satu tahun kemudian, 7 September 2004 melalui rapat Paripurna DPR.

Namun, penentuan anggota KKR baru menyusul setahun kemudian. Pada April 2005, proses seleksi dilakukan. Setelah panitia seleksi resmi menyelesaikan tugasnya empat bulan kemudian, dipilihlah 42 individu calon anggota yang kemudian diserahkan kepada Presiden, untuk diseleksi kembali menjadi 21 calon.

Pada tahun 2006, KKR kembali dijanjikan akan menjadi instrumen penyelesaian masalah pelanggaran HAM. Pemerintah dan DPR kali ini menjanjikannya kepada masyarakat Aceh, sebagai bagian dari hasil perundingan internasional antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang disepakati dalam MoU Helsinki.

Pembentukan KKR pun juga diamanatkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 229 dari UU tersebut menjelaskan bahwa KKR bertugas mencari kebenaran atas pelanggaran HAM di Aceh dengan "mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat."

Di tahun yang sama, eksistensi UU KKR ditantang dalam bentuk uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak menunggu beberapa lama, UU KKR resmi tinggal ingatan mulai akhir tahun 2006.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun