Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berencana menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Diketahui, UU KKR pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 lalu. Mahfud mengatakan, kini MK meminta UU tersebut kembali dihidupkan. Menurut Mahfud, sejumlah bagian dari isi dari UU KKR perlu diperbaiki untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Itu penting untuk dibuka lagi Kenapa dulu dibatalkan oleh MK. MK memerintahkan supaya dihidupkan tapi diperbaiki lagi isinya," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/10).
Pembatalan UU KKR terekam dalam surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/PUUIV/2006. Menurut putusan tersebut, pembatalan UU KKR dilakukan berdasarkan hasil uji materi terhadap sejumlah pasal yang termuat dalam produk legislasi tersebut.
Uji materi sendiri dilayangkan pada 28 Maret 2006, oleh delapan orang yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka di antaranya adalah: Asmara Nababan yang mewakili Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Ibrahim Zakir yang mewakili Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Eesther dari Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Rachland Nashidik dari Imparsial.
Kemudian, Soenarno Tomo Hardjono perwakilan Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65, Sumaun Utomo perwakilan dari Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Rahardjo Waluyo sebagai Dajti sebagai korban penculikan aktivis, serta Tjasman Setyo Prawiro sebagai korban peristiwa 65.
Materi UU KKR yang diujikan antara lain yakni Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, dan Pasal 44. Pada Pasal 1 ayat 9, UU KKR memungkinkan pelaku pelanggaran HAM berat memperoleh amnesti dari Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemudian, Pasal 27 berbicara tentang pertimbangan hukum berupa layanan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, jika permohonan amnesti dari seorang pelaku pelanggaran HAM berat dikabulkan oleh Presiden. Menurut Pasal 19, ketiga layanan tersebut dikerjakan oleh sub komisinya masing-masing. Sebaliknya, jika amnesti tidak dikabulkan, perkara bisa dilanjutkan ke pengadilan HAM ad hoc.
Ada pun Pasal 44Â UUÂ KKRÂ menjelaskan bahwa suatu perkara pelanggaran HAM berat tidak bisa diajukan oleh ke pengadilan HAM ad hoc jika terlebih dahulu telah diungkap dan diselesaikan secara 'amicable' oleh petugas komisi. Namun kelonggaran ini tidak berlaku apabila Presiden telah mengabulkan amnesti terkait perkara tesebut.
Gugatan uji materi pun berhasil. Bahkan MK membatalkan seluruh bagian materi UU KKR. Sebagaimana yang tertulis dalam amar putusan, UU KKR dianggap sah bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (rechtsonzekerheid).
Tidak Sesuai dengan Penegakan HAM Internasional