Putusan MK membatalkan UU KKR tidak serta merta dinilai bijak. Oleh tidak sedikit pihak, terutama ahli hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), MK dinilai memiliki sikap hukum yang terlalu terburu-buru.
Misalnya, dikutip dari Hukum Online, advokat senior sekaligus pemerhati hukum Todung Mulya Lubis menyatakan prihatin terhadap putusan MKÂ karena dinilainya bersifat ultra petita (mengabulkan melebihi apa yang diminta). Menurutnya, seharunys MK hanya mempersoalkan ketiga pasal yang digugat untuk diperbaiki, alih-alih membatalkan seluruh UU KKR.
"MK memang sekarang mempunyai kebiasaan membuat putusan yang sifatnya ultra petita. Jadi, MK memberikan satu pelajaran untuk tidak konsisten dengan hukum acara," ujarnya pada Desember 2006 lalu, sebagaimana yang dilaporkan oleh Hukum Online.
Sayangnya, lanjut Todung, tidak ada yang bisa dilakukan putusan MK bersifat final dan mengikat. Todung menilai putusan MK yang bersifat ultra petita dapat menjadi bumerang karena MK dapat dipertanyakan eksistensi dan keabsahan putusannya.
Lebih lanjut, Todung berpandangan MK tidak memahami tujuan mulia dibentuknya UU KKR yaitu truth telling (pengungkapan kebenaran) dan healing (penyembuhan) atas pelanggaran HAM masa lampau. Menurutnya keberadaan KKR dapat menjamin terkuaknya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta mengobati luka keluarga korban pelanggaran HAM.
Ada pun LSM, kritikan misalnya datang dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Dalam laporan policy briefnya, Elsam melihat pembatalan UU KKR sebagai "tertundanya keadilan (delay justice) bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu."
Elsam berharap keberadaan UU KKR bisa memperjuangkan kepentingan korban pelanggaran HAM masa lalu. Elsam dalam laporan itu kemudian merujuk pada kesepakatan 'Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law' yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 16 Desember 2005 lalu.
Kurang lebih kesepakatan tersebut menjelaskan bahwa setiap korban pelanggaran HAM berat berhak untuk mendapatkan: (1) akses terhadap keadilan yang setara dan efektif; (2) pemulihan yang memadai, efektif dan cepat atas penderitaan korban; dan (3) akses terhadap informasi yang relevan mengenai pelanggaran dan mekanisme pemulihannya.
Masih dalam laporan yang sama, Elsam juga memaparkan terdapat 17 kelompok korban dari kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. Kasus-kasus tersebut merentang sejak peristiwa 65 sampai peristiwa darurat militer Aceh tahun 2006.
Hanya Bertahan 2 Tahun
Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) sendiri merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Menurut pasal 3 dari UU tersebut, KKR bekerja di luar lingkaran pengadilan. Tugas ini dikatakan "guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa." Selain itu, KKR juga berperan "mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian."