Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pemahaman Gagal KPI Menyoal Media Baru

4 September 2019   20:55 Diperbarui: 23 September 2019   04:03 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini setidaknya menunjukan bahwa kedudukan khalayak sebagai objek yang pasif paling relevan dalam cara kerja televisi atau radio, yang isi tayangannya sangat mengikuti alur dan pembagian waktu yang ditetapkan oleh pihak industri televisi. Siapapun yang ingin bisa mengakses tayangan televisi, harus terkungkung mengikuti alur dan pembagian waktu tersebut.

Misalnya, tayangan yang sangat memenuhi gratification saya adalah tayangan yang penuh aksi dengan kontak fisik dan senjata. Karena saya tidak bisa menemukan tayangan seperti ini pada jam 1 siang, saya harus menunggu antara jam 10 hingga jam 12 malam agar bisa menikmati konten dengan kriteria tersebut.

Setelah jam tayangnya sudah lewat, saya pun tidak bisa mengakses konten favorit saya lagi. Seperti itulah keterbatasan tayangan yang dihasilkan oleh penyiaran : selektivitas penonton sangat terbatas.

Namun, berbeda ceritanya ketika saya mencari tayangan seperti tadi di Netflix. Perlu diingat dahulu, bahwa Netflix tidak bekerja dalam sistem penyiaran. Konten-konten didalamnya muncul secara daring (dalam jaringan), terdigitalisasi melalui internet. Pada akses pertama pada layanan Netflix, saya sudah dihadirkan banyak daftar film dengan kriteria-kriteria yang saya inginkan. Saya hanya tinggal memilih salah satu dari tayangan yang saya ingin tonton, sama mudahnya ketika saya memilih menu makanan di restoran. Saya tidak perlu menunggu waktu tayang, sebagaimana saya juga tidak perlu khawatir lalai melewatkan konten. Benar-benar selektivitas yang tidak saya temui ketika misalnya menggunakan televisi atau radio.

Baran & Davis (2010, p. 269) menyebut keunggulan ini sebagai demassification, yakni keleluasaan pengguna media untuk memilih dari menu yang banyak. Kontrol penuh yang berada di setiap ujung jari audiens, membuka pintu bagi kecenderungan "selektivitas tinggi".

West & Turner (2014, dalam Rianto, 2016 p. 94-95) lebih lanjut menyebutkan bahwa selektivitas bekerja dalam ruang minat-minat audiens terhadap jenis konten tertentu. Artinya, ketika kita menggunakan media baru, preferensi dan selera kita soal genre tayangan akan menentukan konten mana yang kita saksikan, dan konten mana yang kita abaikan.

Masih menurut West & Turner (2014), proses ini lebih lanjut diidentifikasi sebagai "pemenuhan identitas personal." Ini adalah satu dari beberapa jenis gratification yang umumnya ingin dipenuhi oleh khalayak melalui penggunaan media. Proses pemenuhan identitas personal terjadi ketika individu memanfaatkan penggunaan media untuk meneguhkan atau menekankan keyakinannya tentang nilai-nilai tertentu (p. 104-105).

Lalu, bagaimana semua ini mempengaruhi dampak konten media terhadap khalayak ?

Yang Tidak Disadari KPI : Eksistensi Khalayak Aktif
Setidaknya, perbedaan pengalaman audiens dalam penggunaan dua media tadi, ikut membentuk perbedaan posisi juga dihadapan media. Ya, media baru lebih memposisikan kita sebagai audiens yang lebih aktif, alih-alih menjadi audiens pasif sebagaimana ketika menjadi konsumen media konvensional.

Konsep khalayak aktif sebelumnya sudah dilibatkan dalam banyak penelitian mengenai "apa yang dilakukan audiens terhadap media." Katakanlah teori Uses & Gratification, satu dari beberapa konsep yang melihat penonton televisi sebagai individu yang cukup otonom dalam mengontrol akses terhadap konten.

Meskipun konsep ini lahir dalam lingkup komunikasi massa, menurut saya konseptualisasi dari tradisi khalayak aktif yang paling jelas dan radikal ditemukan pada cara kerja media baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun