Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pemahaman Gagal KPI Menyoal Media Baru

4 September 2019   20:55 Diperbarui: 23 September 2019   04:03 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari diskusi mahasiswa di kampus, sampai obrolan ringan di warung kopi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hampir tidak pernah absen dalam pembicaraan tentang industri penyiaran, terutama lagi televisi.

Bukannya dipuji, lembaga yang katanya bekerja secara independen itu lebih sering dirundung karena kualitas kerjanya. Selama ini publik memang lebih mengenal KPI sebagai lembaga yang melalui tumpukan aturan populisnya, mereduksi experience milyaran orang menikmati tayangan televisi.

Misalnya, dalam mengontrol industri penyiaran, KPI cenderung menjadi hakim moral dengan mengeluarkan kebijakan sensor yang minim sekali konteks. Kini, sebagaimana yang sudah banyak terlihat, aturan tersebut ditafsirkan oleh industri televisi sebagai keharusan menutupi segala bentuk ketubuhan; termasuk visual-visual sebenarnya bukan termasuk pornografi atau objektifikasi seksual (yang sebenarnya bukan menjadi problem kalau tidak disensor).

Belum lagi berbicara soal keberpihakan, dimana kita semua tahu bahwa KPI terlihat lebih peduli mengakomodasi kepentingan pemilik industri. Buktinya, membersihkan bias kepentingan politik dalam tayangan media terus menjadi urusan yang tidak pernah selesai, apalagi mengupayakan agar industri penyiaran mendorong inklusifitas bagi para disabilitas.

Kemudian, pada awal Agustus lalu, timbul wacana KPI populis lainnya. KPI akan melakukan pengawasan terhadap konten digital, merentang dari media sosial hingga media streaming. Netflix dan YouTube adalah objek paling terang yang disasar oleh KPI. Wacana tersebut, menurut ketua KPI Agung Suprio, didasarkan pada temuan dan aduan dari masyarakat seputar kekerasan dan pornografi (Tempo, 10 Agustus 2019).

Namun, beberapa waktu setelahnya, menjelang akhir Agustus, KPI melalui komisionernya, Irsal Ambia, menegaskan bahwa mereka sudah menyadari kalau Netflix, secara konstitusional, tidak relevan bila menjadi objek pengawasan KPI. Hal ini mengingat UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 hanya mengamanatkan KPI untuk mengatur media konvensional yang bekerja dalam frekuensi, bukan digital (CNNIndonesia, 21 Agustus 2019).

Sikap KPI tersebut membuat penggemar Netflix bisa bernafas lega karena wacana pengawasan media baru pun sudah jadi angin lalu. Namun, entah mengapa tidak dengan saya. Pikiran saya masih terbawa oleh pernyataan Ketua KPI soal alasan wacana ini sempat bergulir. 

Melalui tulisan ini, saya hendak mendeskripsikan dalam pendekatan teoritis, bagaimana KPI gagal memahami kedudukan Facebook, YouTube, dan Netflix sebagai media baru. Kegagalan tersebut, bagi saya, terlihat dari bagaimana wacana tersebut masih menempatkan masyarakat sebagai objek dampak media, sebagaimana ketika KPI mengatur soal televisi.

Sebenarnya, apakah konsep "terpapar konten media" masih reIevan dalam pembahasan efek media (baru) terhadap para penonton ? Sayangnya pertanyaan besar ini tidak menjadi bahan pertimbangan KPI. Tulisan ini ingin mengingatkan betapa pentingnya untuk melihat kembali substansi dari posisi khalayak dalam media baru, yang mestinya direfleksikan jika KPI ingin mengabulkan wacana tersebut.

Penonton yang "Berdaya"
Hampir segala pemahaman tentang cara kerja media selalu menempatkan penonton (yang selanjutnya disebut audiens/khalayak) sebagai objek yang pasif. Konsep khalayak pasif kurang lebih menjelaskan bahwa konsumen media memiliki kehendak dan kebebasan yang minim untuk menyeleksi atau mengorganisasikan tayangan yang mereka tonton.

Contoh real, ketika suatu program di jam tertentu tidak mampu memenuhi gratification (kepuasan/kebutuhan) seorang penonton, yang bisa dilakukan oleh khalayak pasif hanya mengambil remot kontrol untuk melakukan paling banyak dua hal : beralih ke tayangan lain, atau mematikan televisi lalu menunggu waktu dimana program yang sesuai gratification-nya akan tayang.

Ini setidaknya menunjukan bahwa kedudukan khalayak sebagai objek yang pasif paling relevan dalam cara kerja televisi atau radio, yang isi tayangannya sangat mengikuti alur dan pembagian waktu yang ditetapkan oleh pihak industri televisi. Siapapun yang ingin bisa mengakses tayangan televisi, harus terkungkung mengikuti alur dan pembagian waktu tersebut.

Misalnya, tayangan yang sangat memenuhi gratification saya adalah tayangan yang penuh aksi dengan kontak fisik dan senjata. Karena saya tidak bisa menemukan tayangan seperti ini pada jam 1 siang, saya harus menunggu antara jam 10 hingga jam 12 malam agar bisa menikmati konten dengan kriteria tersebut.

Setelah jam tayangnya sudah lewat, saya pun tidak bisa mengakses konten favorit saya lagi. Seperti itulah keterbatasan tayangan yang dihasilkan oleh penyiaran : selektivitas penonton sangat terbatas.

Namun, berbeda ceritanya ketika saya mencari tayangan seperti tadi di Netflix. Perlu diingat dahulu, bahwa Netflix tidak bekerja dalam sistem penyiaran. Konten-konten didalamnya muncul secara daring (dalam jaringan), terdigitalisasi melalui internet. Pada akses pertama pada layanan Netflix, saya sudah dihadirkan banyak daftar film dengan kriteria-kriteria yang saya inginkan. Saya hanya tinggal memilih salah satu dari tayangan yang saya ingin tonton, sama mudahnya ketika saya memilih menu makanan di restoran. Saya tidak perlu menunggu waktu tayang, sebagaimana saya juga tidak perlu khawatir lalai melewatkan konten. Benar-benar selektivitas yang tidak saya temui ketika misalnya menggunakan televisi atau radio.

Baran & Davis (2010, p. 269) menyebut keunggulan ini sebagai demassification, yakni keleluasaan pengguna media untuk memilih dari menu yang banyak. Kontrol penuh yang berada di setiap ujung jari audiens, membuka pintu bagi kecenderungan "selektivitas tinggi".

West & Turner (2014, dalam Rianto, 2016 p. 94-95) lebih lanjut menyebutkan bahwa selektivitas bekerja dalam ruang minat-minat audiens terhadap jenis konten tertentu. Artinya, ketika kita menggunakan media baru, preferensi dan selera kita soal genre tayangan akan menentukan konten mana yang kita saksikan, dan konten mana yang kita abaikan.

Masih menurut West & Turner (2014), proses ini lebih lanjut diidentifikasi sebagai "pemenuhan identitas personal." Ini adalah satu dari beberapa jenis gratification yang umumnya ingin dipenuhi oleh khalayak melalui penggunaan media. Proses pemenuhan identitas personal terjadi ketika individu memanfaatkan penggunaan media untuk meneguhkan atau menekankan keyakinannya tentang nilai-nilai tertentu (p. 104-105).

Lalu, bagaimana semua ini mempengaruhi dampak konten media terhadap khalayak ?

Yang Tidak Disadari KPI : Eksistensi Khalayak Aktif
Setidaknya, perbedaan pengalaman audiens dalam penggunaan dua media tadi, ikut membentuk perbedaan posisi juga dihadapan media. Ya, media baru lebih memposisikan kita sebagai audiens yang lebih aktif, alih-alih menjadi audiens pasif sebagaimana ketika menjadi konsumen media konvensional.

Konsep khalayak aktif sebelumnya sudah dilibatkan dalam banyak penelitian mengenai "apa yang dilakukan audiens terhadap media." Katakanlah teori Uses & Gratification, satu dari beberapa konsep yang melihat penonton televisi sebagai individu yang cukup otonom dalam mengontrol akses terhadap konten.

Meskipun konsep ini lahir dalam lingkup komunikasi massa, menurut saya konseptualisasi dari tradisi khalayak aktif yang paling jelas dan radikal ditemukan pada cara kerja media baru.

Dua kecenderungan yang sudah coba saya jelaskan di atas, -yakni demassification yang mendorong selektivitas, serta kebutuhan pemenuhan identitas personal- merupakan bentuk-bentuk kontrol baru yang muncul dalam perilaku audiens dalam penggunaan media baru, yang menurut saya makin meneguhkan posisi penonton sebagai khalayak aktif.

Bentuk kontrol baru inilah yang kemudian berperan menciptakan ability khalayak aktif yang paling penting : menghalangi dirinya dari efek-efek konten media (baru). 

Sederhananya, khalayak seperti sedang membangun benteng yang kokoh untuk melindunginya dari nilai-nilai di dalam konten media yang "tidak diinginkan." Bagaimana ini terjadi ? Berikut pemetaan yang coba saya lakukan.

Pertama, selektivitas yang timbul karena demassification (yang mendorong selektivitas) membuat penonton memikirkan kembali apa maksud atau kebutuhan yang melatari keinginan mereka dalam mengonsumsi konten tertentu. Pilihan individu akan jatuh kepada konten yang sesuai dengan kebutuhan pribadinya. Kedua, keinginan pemenuhan identitas personal, selanjutnya akan membuat penonton merefleksikan nilai, pengetahuan, dan pengalaman hidup apa yang membentuk identitasnya. Konten yang merepresentasikan identitasnya itulah, yang kemudian diakses.

Dua elemen tersebut, -yakni kebutuhan individual dan juga identitas personal- membentuk apa yang disebut sebagai : faktor pembentuk kepuasan. Evaluasi interpersonal soal faktor pembentuk kepuasan pribadinya, mendukung apa yang dijelaskan oleh Littlejohn (1996 : p. 333), bahwa aktivitas konsumsi media oleh khalayak aktif dilakukan berdasarkan pengambilan keputusan, intensionalitas (kesengajaan), dan alasan yang spesifik.

Hal ini bagi saya juga mengafirmasi apa yang dijelaskan oleh West dan Turner, bahwa konsumsi media oleh khalayak aktif bekerja secara utilitarian, yakni berorientasi pada kepentingan individu (West dan Turner, 2014: 104).

Audiens aktif punya inisiatif untuk menghubungan faktor pembentuk kepuasan mereka dengan perilaku pemilihan konten media. Tentu, pemilihan tayangan umumnya berbeda satu sama lain pada setiap individu, karena jenis kebutuhan dan identitas adalah sesuatu yang beragam, sehingga demikian juga faktor pembentuk kepuasannya.

Masih menurut West & Turner (2014 p. 113) keaktifan khalayak kemudian berdampak pada kebebasan penonton dalam menentukan tiga hal : jenis konten apa yang diakses, kapan konten tersebut diakses, dan apakah ia akan membagikan konten tersebut.

Namun, saya pikir, ketika hal ini beoperasi kerangka faktor pembentuk kepuasan pribadi penonton, posisi aktif khalayak menimbulkan konsekuensi tambahan : kebebasan (atau saya lebih nyaman menyebutnya "keberdayaan") untuk memaknai pesan-pesan media.

Konsekuensi tersebut mungkin lebih ilmiah disebut sebagai "kemampuan negosiasi makna." Negosiasi adalah salah dari tiga bentuk posisi pemaknaan audiens ketika menerima pesan media (decoding). Stuart Hall (1947) mengkonseptualisasikan ini sebagai resepsi media. Di samping negosiasi, oposisi dan dominan adalah dua posisi pemaknaan lainnya.

Proses negosiasi makna, menurut Hall, terjadi ketika audiens lebih mampu untuk menginterprestasikan pesan dalam tayangan media. Audiens aktif lebih mudah untuk menentukan makna dan nilai yang diambil atau dibuang ketika mengonsumsi konten media.

Pada titik tertentu, ketika audiens aktif sudah mempunyai nilai dan pengetahuan yang mengakar, ia akan membaca pesan dari posisi yang berlawanan dan mudah menolak untuk sejalan dengan wacana. Ini persis ketika saya menghindari tayangan-tayangan tertentu yang tidak sejalan dengan faktor pembentuk kepuasan pribadi saya, katakanlah film romantis. Disinilah audiens berada dalam posisi oposisi.

Dua kondisi di atas tentu berbeda dengan audiens yang berada dalam posisi pemaknaan dominan. Sebagai khalayak pasif, mereka lebih sulit untuk tidak menerima begitu saja pesan yang disampaikan oleh media, karena mereka tengah menjadi objek arus langsung media.

Hal yang hendak saya tekanka adalah, bahwa konsep soal kecenderungan khalayak aktif dalam menegosiasi konten, seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan alternatif bagi para pembuat kebijakan -dalam hal ini KPI- untuk memaknai para pengguna media baru dengan cara yang tepat.

Mengandaikan penonton Netflix maupun pengakses situs YouTube sebagai individu yang rentan terkena "dampak negatif tayangan," menurut saya, menjadi paradigma yang mesti dievalusasi kembali relevansinya, karena mereka sejatinya sudah berada dalam kontrol ketika membiarkan diri berinteraksi dengan konten media.

Audiens media baru lebih berotonomi dalam mengonsumsi konten media dan memaknai nilai-nilai yang dibawa oleh kontennya. Khalayak aktif dalam media baru adalah individu yang sejatinya sudah memahami terlebih dahulu makna-makna yang dibawa dalam tayangan, terutama tayangan yang secara sengaja sudah dipilih.

Preferensi seorang pengguna media memang sesuatu yang subjektif, namun bukan berarti patut diremehkan. Ia adalah elemen yang powerfull dalam membantu individu audiens menciptakan kesadaran dan kontrol penuh dalam memahami dan menerima isi media.

Kritik dan masukan dari pihak lain, tentu sangat diterima untuk melengkapi pemetaan teoritis di dalam tulisan ini, yang saya akui memang cenderung determinatif.

Referensi :

Littlejohn, Stephen W., 1996. Theories of Human Communication. Edisi ke-5, Belmont-California, Wadsworth.
Rianto, P. (2016). Media baru, visi khalayak aktif dan urgensi literasi media. Jurnal Komunikasi: Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 1(2), 90-96.
West, Richard dan Turner, Lynn H. (2014). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, terjemahan Bryan Marswendy, Jakarta: Penerbit Salemba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun