Migrasi nonprosedural bagi kebanyakan rakyat pedalaman NTT sangat diminati karena murah, tak perlu pendidikan dan keterampilan memadai. Korban potensialnya adalah kelompok masyarakat rentan yang terabaikan seperti: anak putus sekolah dan nganggur, keluarga berpendapatan rendah, terlantar, perempuan korban KDRT atau orang tua tunggal.
Kelompok ini merupakan incaran para mafia serta majikan nakal antar negara. Dalam waktu singkat bisa mendatangkan mereka di negara tujuan dengan bayaran rendah. Tenaga mereka dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi.
Bagi saya menganggap mereka "orang bodoh" adalah sebuah penghakiman sesat ketika negara, gereja kehidupan keagamaan dan kehidupan berkebangsaan  ini  tidak mampu membuat ruang bertumbuh yang holistik (ritual maupun praksis)  yang memadai bagi individu, keluarga, bahkan masyarakat basis atau rakyat untuk hidup sejahtera.
Ruang tafsir keberimanan dalam konteks sosial masih sempit dan parsial. Ruang politik yang masih berpihak pada kapitalisme korporatif yang eksploitatif. Sementara persoalan penegakkan keadilan sosial yang adil dan beradab masih berkutat pada intrik dan impunitas.
Narasi narasi pedih rakyat NTT tetap terdengar semakin kencang dalam kemegahan ritualisme politik dan keagamaan yang semarak selama kita masih tinggal dalam sekat pemahaman parsial tanpa berani membangun kesepahaman bersama untuk bangkit melawan perbudakan modern di Nusa Cendana tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H