Mohon tunggu...
Marieta Sahertyan
Marieta Sahertyan Mohon Tunggu... Guru - Pendeta SINODE GMIT

Pendeta SINODE GMIT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Narasi-narasi Pedih Memoria Passionis PMI asal NTT (Catatan ke II)

29 November 2019   11:57 Diperbarui: 29 November 2019   12:22 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Jaringan Solidaritas Anti Perdagangan Orang NTT (DP)

Pemerintah, gereja serta setiap orang di NTT ini sedang diuji hati nuraninya ketika mengetahui bahwa begitu banyak jenazah anak anak muda NTT mengalir dari negeri jiran Malaysia. Kematian para PMI bukan saja masalah ekonomi, tapi adalah masalah iman dan kebangsaan yang bisa saja tumpul karena seringnya membaca berita kematian PMI dan tak bisa berbuat apa apa untuk menghentikannya

Yang kami khawatirkan dan sedang mengkajinya adalah banyaknya 'orang hilang'  serta  kematian tak bernama di negeri Jiran Malaysia membuat negara ini merupakan "killing fields" bagi pekerja migran nonprosedural asal NTT. Banyak yang nyeletuk dengan kata kata ini. "Itu salah mereka sendiri. Bodoh. sudah tahu susah tapi mau pergi juga"

Mari kita simak percakapan saya dengan keluarga duka asal Oebelo ketika mendampingi mereka menjemput jenazah di kargo Bandara. "Boleh saya tahu kejadian yang menimpa anak perempuan Mama?" Saya bertanya. Sembari menarik napas panjang Ibu Korban mulai menuturkan perjalanan hidup anaknya dengan mata berkaca-kaca.

 "Anak perempuan saya berumur 29 tahun. Dia meninggal karena serangan jantung. Ia anak kedua dari 11 bersaudara. Ia menikah dengan pemuda dari Belu. Dari pernikahan mereka lahir tiga orang anak. Anaknya yang pertama kini duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Suami istri ini kemudian memutuskan untuk pergi ke Malaysia untuk bekerja. Mereka sudah bekerja hampir 5 tahun di sana. Tiga orang anaknya dititipkan pada nenek dan kakeknya di Kampung. Suaminya tak bisa mengantar jenazah istrinya karena bekerja pada majikan lain."

Pada dokumen kematiannya tercatat tidak bekerja. Itu berarti bahwa kepergian mereka melalui jalur nonprosedural. Saya membayangkan kehidupan keluarga ini yang karena alasan bertahan hidup mereka terpaksa berpencar. Mereka rela menempuh "jalan berisiko" maut demi masa depan anak-anaknya.

Banyak sekali keluarga migran, karena alasan mencari nafkah terpaksa hidup berpencar. Mungkin ini pemandangan biasa bagi rakyat NTT. Namun keterpencaran keluarga buruh migran dari pedalaman adalah wajah buram kesejahteraan di bumi Flobamorata.

Kalau berpencarnya keluarga karena bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, pendeta mungkin konsekuensinya akan berbeda karena kesejahteraannya dijamin (meski ada kasus pecahnya pernikahan, tingginya angka perselingkuhan dan perceraian).

Penderitaan mereka berlapis. Di satu sisi terpaksa menyabung nyawa untuk keluarga ke negeri jauh. Lain sisi anak anaknya harus hidup tanpa orang tua. Apalagi jalan yang ditempuh orang tuanya itu berujung maut. Rata rata ceritera duka keluarga yang kami dampingi di kargo bandara cenderung sama.

Bergesernya peradaban keluarga karena "migrasi kerja" terjadi ketika kampung tak lagi menyiapkan "uang untuk hidup" merupakan fenomena yang luput dari keseriusan negara, gereja bahkan masyarakat NTT itu sendiri.

Mereka nekad keluar meskipun tanpa pendidikan dan keterampilan memadai. Seorang mantan pekerja migran perempuan. Orang tua tunggal asal Amarasi, beberapa tahun silam berkata bahwa demi anak- anaknya apapun dia kerjakan meskipun dia sadar bahwa jalan yang dia pilih adalah menjadi budak.

Migrasi nonprosedural bagi kebanyakan rakyat pedalaman NTT sangat diminati karena murah, tak perlu pendidikan dan keterampilan memadai. Korban potensialnya adalah kelompok masyarakat rentan yang terabaikan seperti: anak putus sekolah dan nganggur, keluarga berpendapatan rendah, terlantar, perempuan korban KDRT atau orang tua tunggal.

Kelompok ini merupakan incaran para mafia serta majikan nakal antar negara. Dalam waktu singkat bisa mendatangkan mereka di negara tujuan dengan bayaran rendah. Tenaga mereka dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi.

Bagi saya menganggap mereka "orang bodoh" adalah sebuah penghakiman sesat ketika negara, gereja kehidupan keagamaan dan kehidupan berkebangsaan  ini  tidak mampu membuat ruang bertumbuh yang holistik (ritual maupun praksis)  yang memadai bagi individu, keluarga, bahkan masyarakat basis atau rakyat untuk hidup sejahtera.

Ruang tafsir keberimanan dalam konteks sosial masih sempit dan parsial. Ruang politik yang masih berpihak pada kapitalisme korporatif yang eksploitatif. Sementara persoalan penegakkan keadilan sosial yang adil dan beradab masih berkutat pada intrik dan impunitas.

Narasi narasi pedih rakyat NTT tetap terdengar semakin kencang dalam kemegahan ritualisme politik dan keagamaan yang semarak selama kita masih tinggal dalam sekat pemahaman parsial tanpa berani membangun kesepahaman bersama untuk bangkit melawan perbudakan modern di Nusa Cendana tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun