Pemerintah, gereja serta setiap orang di NTT ini sedang diuji hati nuraninya ketika mengetahui bahwa begitu banyak jenazah anak anak muda NTT mengalir dari negeri jiran Malaysia. Kematian para PMI bukan saja masalah ekonomi, tapi adalah masalah iman dan kebangsaan yang bisa saja tumpul karena seringnya membaca berita kematian PMI dan tak bisa berbuat apa apa untuk menghentikannya
Yang kami khawatirkan dan sedang mengkajinya adalah banyaknya 'orang hilang'  serta  kematian tak bernama di negeri Jiran Malaysia membuat negara ini merupakan "killing fields" bagi pekerja migran nonprosedural asal NTT. Banyak yang nyeletuk dengan kata kata ini. "Itu salah mereka sendiri. Bodoh. sudah tahu susah tapi mau pergi juga"
Mari kita simak percakapan saya dengan keluarga duka asal Oebelo ketika mendampingi mereka menjemput jenazah di kargo Bandara. "Boleh saya tahu kejadian yang menimpa anak perempuan Mama?" Saya bertanya. Sembari menarik napas panjang Ibu Korban mulai menuturkan perjalanan hidup anaknya dengan mata berkaca-kaca.
 "Anak perempuan saya berumur 29 tahun. Dia meninggal karena serangan jantung. Ia anak kedua dari 11 bersaudara. Ia menikah dengan pemuda dari Belu. Dari pernikahan mereka lahir tiga orang anak. Anaknya yang pertama kini duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Suami istri ini kemudian memutuskan untuk pergi ke Malaysia untuk bekerja. Mereka sudah bekerja hampir 5 tahun di sana. Tiga orang anaknya dititipkan pada nenek dan kakeknya di Kampung. Suaminya tak bisa mengantar jenazah istrinya karena bekerja pada majikan lain."
Pada dokumen kematiannya tercatat tidak bekerja. Itu berarti bahwa kepergian mereka melalui jalur nonprosedural. Saya membayangkan kehidupan keluarga ini yang karena alasan bertahan hidup mereka terpaksa berpencar. Mereka rela menempuh "jalan berisiko" maut demi masa depan anak-anaknya.
Banyak sekali keluarga migran, karena alasan mencari nafkah terpaksa hidup berpencar. Mungkin ini pemandangan biasa bagi rakyat NTT. Namun keterpencaran keluarga buruh migran dari pedalaman adalah wajah buram kesejahteraan di bumi Flobamorata.
Kalau berpencarnya keluarga karena bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, pendeta mungkin konsekuensinya akan berbeda karena kesejahteraannya dijamin (meski ada kasus pecahnya pernikahan, tingginya angka perselingkuhan dan perceraian).
Penderitaan mereka berlapis. Di satu sisi terpaksa menyabung nyawa untuk keluarga ke negeri jauh. Lain sisi anak anaknya harus hidup tanpa orang tua. Apalagi jalan yang ditempuh orang tuanya itu berujung maut. Rata rata ceritera duka keluarga yang kami dampingi di kargo bandara cenderung sama.
Bergesernya peradaban keluarga karena "migrasi kerja" terjadi ketika kampung tak lagi menyiapkan "uang untuk hidup" merupakan fenomena yang luput dari keseriusan negara, gereja bahkan masyarakat NTT itu sendiri.
Mereka nekad keluar meskipun tanpa pendidikan dan keterampilan memadai. Seorang mantan pekerja migran perempuan. Orang tua tunggal asal Amarasi, beberapa tahun silam berkata bahwa demi anak- anaknya apapun dia kerjakan meskipun dia sadar bahwa jalan yang dia pilih adalah menjadi budak.