Mohon tunggu...
Mariemon Simon Setiawan
Mariemon Simon Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Silentio Stampa!

Orang Maumere yang suka makan, sastra, musik, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pantun: Dari Buku Pelajaran, Panggung Hiburan, hingga Panggung Politik

20 November 2023   20:23 Diperbarui: 20 November 2023   20:30 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari latar belakang historis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pantun begitu erat dengan kegembiraan dan sukacita, juga sarat suasana persaudaraan, seperti orang Flores Timur yang menari sambil berbalas pantun dengan iringan musik tradisional.

Jika pantun tetaplah pantun dan selebihnya soal interpretasi, saya kira tidak salah jika kita kembali kepada reaksi, situasi, dan interpretasi paling purba sebagaimana awal pantun lahir dari rahim sastra Melayu kuno. Persaudaraan, hiburan, dan sukacita harusnya menjadi kolam tempat pantun menerima riak-riak reaksi. Atas dasar (yang barangkali lemah) inilah, dalam konteks pantun Pak Prabowo, reaksi yang diharapkan adalah sukacita dalam persaudaraan.

Barangkali reaksi Cak Imin yang berdiri menyambut Pak Prabowo dengan tawa lebar dan tangan terbuka siap memberi tos adalah reaksi yang paling mantap; atau ekspresi seperti Pak Mahfud yang tanpa segan ikut tertawa puas. Terlepas dari berbagai trik politik di balik pementasan demokrasi yang tengah panas ini, betapa senangnya saya menyaksikan keakraban yang sarat sukacita itu, apalagi ketika Pak Prabowo mengeluarkan jurus goyang gemoy-nya. Inilah reaksi yang saya kira diharapkan dari para pendengar, yaitu sukacita.

Reaksi (dan interpretasi) yang sama juga diharapkan dari pantun Cak Imin dan pantun Pak Mahfud. Sayangnya, pantun Cak Imin menuai seberkas laporan pelanggaran yang melayang ke kantor KPU, sementara dari pantun Pak Mahfud(khususnya pantun kedua), masih ditemukan komentar 'negara lain diurusi, kapan urus negara sendiri, Pak?'. Lalu, bagaimana dengan pantun Bung Rocky di hadapan Pak Ganjar? Kita lihat sendiri, Pak Ganjar pun turut tertawa.

Terlepas dari panggung-panggung di atas, kita sebenarnya tengah menikmati usia pantun yang makin panjang dan lestari. Kehadirannya yang lintas pentas itu menegaskan bahwa pantun terus eksis di tengah zaman yang terus berkembang ini.

* * *

Terakhir, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya kembali teringat pantun Ibu Mega.

Jangan pernah gentar diterjang badai
Karena apa pun
Karena apa? Badai pasti berlalu
Dan matahari akan selalu terbit di ufuk timur, saudara-saudara sekalian

Saya sudah berusaha untuk menyusunnya berdasarkan rima dan irama, menentukan sampiran dan isi sebagaimana teori tentang pantun yang saya dapat di bangku sekolah, tetapi gagal.

Menurut saya, sebenarnya kalimat yang diucapkan dengan berapi-api oleh beliau itu lebih cocok disebut sebagai kalimat motivasi. Namun, jika Ibu Mega keuhkeuh tetap ingin menyebutnya sebagai pantun, saya (pun) bingung. Jika saya ditanya, termasuk jenis pantun apakah pantun Ibu Mega itu, saya akan menggolongkannya sebagai pantun jenaka.

Sebagai penutup, saya mengutip kalimat terakhir Ibu Mega sebelum ia mengucapkan pantun itu: "tapi ininya (pantunnya) lain kalau Ibu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun