Dari latar belakang historis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pantun begitu erat dengan kegembiraan dan sukacita, juga sarat suasana persaudaraan, seperti orang Flores Timur yang menari sambil berbalas pantun dengan iringan musik tradisional.
Jika pantun tetaplah pantun dan selebihnya soal interpretasi, saya kira tidak salah jika kita kembali kepada reaksi, situasi, dan interpretasi paling purba sebagaimana awal pantun lahir dari rahim sastra Melayu kuno. Persaudaraan, hiburan, dan sukacita harusnya menjadi kolam tempat pantun menerima riak-riak reaksi. Atas dasar (yang barangkali lemah) inilah, dalam konteks pantun Pak Prabowo, reaksi yang diharapkan adalah sukacita dalam persaudaraan.
Barangkali reaksi Cak Imin yang berdiri menyambut Pak Prabowo dengan tawa lebar dan tangan terbuka siap memberi tos adalah reaksi yang paling mantap; atau ekspresi seperti Pak Mahfud yang tanpa segan ikut tertawa puas. Terlepas dari berbagai trik politik di balik pementasan demokrasi yang tengah panas ini, betapa senangnya saya menyaksikan keakraban yang sarat sukacita itu, apalagi ketika Pak Prabowo mengeluarkan jurus goyang gemoy-nya. Inilah reaksi yang saya kira diharapkan dari para pendengar, yaitu sukacita.
Reaksi (dan interpretasi) yang sama juga diharapkan dari pantun Cak Imin dan pantun Pak Mahfud. Sayangnya, pantun Cak Imin menuai seberkas laporan pelanggaran yang melayang ke kantor KPU, sementara dari pantun Pak Mahfud(khususnya pantun kedua), masih ditemukan komentar 'negara lain diurusi, kapan urus negara sendiri, Pak?'. Lalu, bagaimana dengan pantun Bung Rocky di hadapan Pak Ganjar? Kita lihat sendiri, Pak Ganjar pun turut tertawa.
Terlepas dari panggung-panggung di atas, kita sebenarnya tengah menikmati usia pantun yang makin panjang dan lestari. Kehadirannya yang lintas pentas itu menegaskan bahwa pantun terus eksis di tengah zaman yang terus berkembang ini.
* * *
Terakhir, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya kembali teringat pantun Ibu Mega.
Jangan pernah gentar diterjang badai
Karena apa pun
Karena apa? Badai pasti berlalu
Dan matahari akan selalu terbit di ufuk timur, saudara-saudara sekalian
Saya sudah berusaha untuk menyusunnya berdasarkan rima dan irama, menentukan sampiran dan isi sebagaimana teori tentang pantun yang saya dapat di bangku sekolah, tetapi gagal.
Menurut saya, sebenarnya kalimat yang diucapkan dengan berapi-api oleh beliau itu lebih cocok disebut sebagai kalimat motivasi. Namun, jika Ibu Mega keuhkeuh tetap ingin menyebutnya sebagai pantun, saya (pun) bingung. Jika saya ditanya, termasuk jenis pantun apakah pantun Ibu Mega itu, saya akan menggolongkannya sebagai pantun jenaka.
Sebagai penutup, saya mengutip kalimat terakhir Ibu Mega sebelum ia mengucapkan pantun itu: "tapi ininya (pantunnya) lain kalau Ibu."