Akhir-akhir ini, pantun tengah mencuri perhatian. Ia sejenak menomorduakan jenis-jenis karya sastra lainnya dan meninabobokan kutipan-kutipan bernas dari para tokoh dunia. Pantun boleh membusung dada dan berbangga, sebab ia bisa muncul dalam semua momen dan lintas ranah. Secara akumulatif, dalam beberapa waktu terakhir, pantun begitu ekspansif. Ia tidak saja mendekam dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia terbitan Erlangga (atau Intan Pariwara), tapi juga merambah sampai panggung hiburan, bahkan panggung politik.
Membuat pantun bukanlah hal yang sulit. Ia dapat diciptakan kurang dari satu menit. Bahkan saya berani taruhan, menyebut nama-nama kawan yang pernah meminjam uang Anda masih lebih sulit ketimbang membuat sebuah pantun.
Pantun menjadi mudah sebab (lazimnya) ia terdiri dari empat larik dengan pola rima a-b-a-b atau a-a-a-a (bukan a-b-b-a atau a-a-b-b). Masing-masing larik terdiri dari 8-12 suku kata. Dua larik awal adalah sampiran yang berfungsi untuk menyiapkan rima dan irama (demikian menurut Sultan Takdir Alisjahbana), sementara dua larik terakhir adalah isi pantun, yang menjadi pesan inti dari pantun tersebut. Demikian, teori tentang pantun (seingat saya).
Chris Martin yang humble itu tampaknya berhasil 'menjadi' warga Indonesia dengan dua alasan: nyeker dan pantun.
Vokalis Coldplay itu diambil gambarnya ketika sedang berjalan kaki dengan kaki telanjang di pinggir waduk. Bertelanjang kaki (apalagi di pinggir kali) dalam konteks Indonesia (khususnya Jawa), pada level tertentu, dapat menjadi gambaran situasi ekonomi, kesenjangan sosial, kinerja pemerintah, hingga tingkat sanitasi masyarakat apabila disodok dengan pertanyaan "mengapa orang (di pinggir kali) bertelanjang kaki?". Barangkali, Chris tidak tahu soal 'rahasia' mengapa ada orang Indonesia yang benar-benar nyeker.
Ketika Chris melantunkan pantun ujian Fisika-nya di bawah langit Jakarta, seisi Gelora Bung Karno bergemuruh. Tentu saja, kalimat 'pinjam dulu seratus' yang tengah trend itu diluar dugaan ternyata bisa keluar juga dari mulut yang sering mengucapkan lirik-lirik ajaib dalam lagu Fix You, Warning Sign, A Head Full Of Dream, atau Daddy itu. Dan Chris menyanyikan pantunnya dengan iringan piano fullcollor-nya itu, seperti musikalisasi puisi (Chris mengubahnya menjadi musikalisasi pantun!).
Hari Selasa ujian Fisika
Giat belajar biar lulus
Apa kabar kota Jakarta
Boleh dong pinjam seratus
Pantun pada akhirnya (kembali) naik tingkat. Berangkat dari buku tua pelajaran sastra Indonesia yang menampilkan karya luhur nenek moyang, pantun menyentuh panggung hiburan yang boleh dikatakan berlevel internasional. Pada sisi lain, Chris dan Coldplay, sebagaimana yang sering mereka lakukan di negara lain, menaruh rasa hormat dengan 'menjadi' seperti warga lokal. Chris, dalam lawatan perdana ini telah memberi kesan menarik dengan pantun itu (selain nyeker), dan 'menjadi' Indonesia meski sesaat.
Apakah penonton Coldplay di seluruh dunia melihat Chris berpantun? Entahlah. Yang jelas momen itu sudah masuk dalam arsip dokumentasi salah satu band papan atas di dunia.
Apakah pantun itu persoalan marketing? Entahlah. Yang jelas, kaum fear of missing out yang berdompet tebal begitu antusias dan lebih beruntung ketimbang sebagian fans sejati yang untuk mendapatkan seratus ribu saja harus meminjam dari kawannya.
Apakah kita harus bangga karena Chris berpantun? Nah, ini yang barangkali penting. Karena saya tidak mau digolongkan sebagai anak bangsa yang minder dengan bangsa lain seperti kata Mbah Sujiwo Tejo, saya tidak (mau) berbangga karena Chris berpantun, tetapi Chris-lah yang harus berbangga karena ia berpantun saat konser perdana di Indonesia. Apakah Chris dan Coldplay bangga? Entahlah. Barangkali Anda juga tidak peduli.
Kupu-kupu lucu berbaris-baris
Kupu-kupu liar sikut-menyikut
Sudah cukup tentang Chris
Mari kita ke pantun berikut
* * *
Sehari sebelum Coldplay datang dan meninggalkan Jakarta dengan kesan serta kekacauannya, pantun lebih dulu eksis di panggung politik. Rupanya pantun tidak saja menjadi senjata andalan para MC kocak untuk membuka dan menutup suatu hajatan, tetapi juga telah menjelma alat politik. Saya sendiri lebih menaruh perhatian pada pantun Pak Prabowo, sebab pantunnya lebih netral dan kontekstual dalam situasi tersebut, meski isi pantun itu mengerucut pada sosok tertentu. Apakah pantun itu menandakan bahwa Pak Prabowo lebih mematuhi timeline pemilu terkait masa kampanye? Entahlah. Itu pertanyaan provokatif.
Satu dua cempaka biru
Tiga empat dalam jabangan
Kalau dapat kawan baru
Kawan lama dilupa jangan
Pak Prabowo mengucapkan pantun itu dengan tegas. Isinya pun jelas, bahkan dapat dikategorikan sebagai jenis pantun nasihat. Jika Anda menganggapnya sebagai sindiran, itu tergantung interpretasi Anda.
Isi pantun Pak Prabowo itu secara tak langsung menggambarkan situasi perpolitikan tanah air dan relasi kekuasaan dalam satu setengah dekade terakhir. Loyalitas sulit ditemukan ketika ada benturan kepentingan. Lawan bisa menjadi kawan, demikian pun sebaliknya. Dulu orang bisa berdamai dalam koalisi, sekarang bisa saling menyerang sebagai oposisi.
Barangkali, relasi dan sikap para tokoh politik yang berubah-ubah itu seperti rima dan irama dalam sebuah pantun; periode sebelumnya 'a', periode berikutnya 'b', kembali ke 'a', begitu seterusnya. Bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim, relasi dan sikap politik itu bisa berpola acak seperti rima dan irama dalam pantun Ibu Mega yang absurd itu, sebentar 'a', lalu ke 'b', tiba-tiba saja sudah 'c'.
Lalu, apa yang penting dari pantun Pak Prabowo?
Reaksi! Menurut saya, yang paling penting adalah soal reaksi ketika menerima atau mendengar pantun. Pantun barangkali diucapkan dengan nada candaan atau serius, pun dapat menimbulkan reaksi yang juga dapat ditanggapi secara candaan atau pun serius pula (maka jangan heran kalau paslon nomor satu dilaporkan ke KPU karena pantun). Dan tentu saja, reaksi yang timbul itu tidak terlepas dari interpretasi.
Jika demikian, bagaimana interpretasi dan reaksi (yang ideal) setelah menerima pantun?
Mari kita kembali sejenak ke masa lalu, ketika orang-orang tua di Minangkabau menasihati anak-anak mereka. Dalam bingkai kekeluargaan dan adat, pantun menjadi salah satu media untuk menasihati anak-anak. Pantun berasal dari kata 'panuntun' yang bagi orang Minangkabau artinya 'penuntun'. Kumparan menjelaskan bahwa pantun adalah jenis sastra lisan yang sering digunakan untuk berbagai keperluan, seperti mengungkapkan perasaan cinta, menghibur, atau sebagai bagian dari ritual adat.
Dari latar belakang historis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pantun begitu erat dengan kegembiraan dan sukacita, juga sarat suasana persaudaraan, seperti orang Flores Timur yang menari sambil berbalas pantun dengan iringan musik tradisional.
Jika pantun tetaplah pantun dan selebihnya soal interpretasi, saya kira tidak salah jika kita kembali kepada reaksi, situasi, dan interpretasi paling purba sebagaimana awal pantun lahir dari rahim sastra Melayu kuno. Persaudaraan, hiburan, dan sukacita harusnya menjadi kolam tempat pantun menerima riak-riak reaksi. Atas dasar (yang barangkali lemah) inilah, dalam konteks pantun Pak Prabowo, reaksi yang diharapkan adalah sukacita dalam persaudaraan.
Barangkali reaksi Cak Imin yang berdiri menyambut Pak Prabowo dengan tawa lebar dan tangan terbuka siap memberi tos adalah reaksi yang paling mantap; atau ekspresi seperti Pak Mahfud yang tanpa segan ikut tertawa puas. Terlepas dari berbagai trik politik di balik pementasan demokrasi yang tengah panas ini, betapa senangnya saya menyaksikan keakraban yang sarat sukacita itu, apalagi ketika Pak Prabowo mengeluarkan jurus goyang gemoy-nya. Inilah reaksi yang saya kira diharapkan dari para pendengar, yaitu sukacita.
Reaksi (dan interpretasi) yang sama juga diharapkan dari pantun Cak Imin dan pantun Pak Mahfud. Sayangnya, pantun Cak Imin menuai seberkas laporan pelanggaran yang melayang ke kantor KPU, sementara dari pantun Pak Mahfud(khususnya pantun kedua), masih ditemukan komentar 'negara lain diurusi, kapan urus negara sendiri, Pak?'. Lalu, bagaimana dengan pantun Bung Rocky di hadapan Pak Ganjar? Kita lihat sendiri, Pak Ganjar pun turut tertawa.
Terlepas dari panggung-panggung di atas, kita sebenarnya tengah menikmati usia pantun yang makin panjang dan lestari. Kehadirannya yang lintas pentas itu menegaskan bahwa pantun terus eksis di tengah zaman yang terus berkembang ini.
* * *
Terakhir, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya kembali teringat pantun Ibu Mega.
Jangan pernah gentar diterjang badai
Karena apa pun
Karena apa? Badai pasti berlalu
Dan matahari akan selalu terbit di ufuk timur, saudara-saudara sekalian
Saya sudah berusaha untuk menyusunnya berdasarkan rima dan irama, menentukan sampiran dan isi sebagaimana teori tentang pantun yang saya dapat di bangku sekolah, tetapi gagal.
Menurut saya, sebenarnya kalimat yang diucapkan dengan berapi-api oleh beliau itu lebih cocok disebut sebagai kalimat motivasi. Namun, jika Ibu Mega keuhkeuh tetap ingin menyebutnya sebagai pantun, saya (pun) bingung. Jika saya ditanya, termasuk jenis pantun apakah pantun Ibu Mega itu, saya akan menggolongkannya sebagai pantun jenaka.
Sebagai penutup, saya mengutip kalimat terakhir Ibu Mega sebelum ia mengucapkan pantun itu: "tapi ininya (pantunnya) lain kalau Ibu."
Tua muda ikut pilkada
Sajikan visi bukan janji
Inilah obrolan biasa dari saya
Sekian dan terima gaji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H