Kupu-kupu lucu berbaris-baris
Kupu-kupu liar sikut-menyikut
Sudah cukup tentang Chris
Mari kita ke pantun berikut
* * *
Sehari sebelum Coldplay datang dan meninggalkan Jakarta dengan kesan serta kekacauannya, pantun lebih dulu eksis di panggung politik. Rupanya pantun tidak saja menjadi senjata andalan para MC kocak untuk membuka dan menutup suatu hajatan, tetapi juga telah menjelma alat politik. Saya sendiri lebih menaruh perhatian pada pantun Pak Prabowo, sebab pantunnya lebih netral dan kontekstual dalam situasi tersebut, meski isi pantun itu mengerucut pada sosok tertentu. Apakah pantun itu menandakan bahwa Pak Prabowo lebih mematuhi timeline pemilu terkait masa kampanye? Entahlah. Itu pertanyaan provokatif.
Satu dua cempaka biru
Tiga empat dalam jabangan
Kalau dapat kawan baru
Kawan lama dilupa jangan
Pak Prabowo mengucapkan pantun itu dengan tegas. Isinya pun jelas, bahkan dapat dikategorikan sebagai jenis pantun nasihat. Jika Anda menganggapnya sebagai sindiran, itu tergantung interpretasi Anda.
Isi pantun Pak Prabowo itu secara tak langsung menggambarkan situasi perpolitikan tanah air dan relasi kekuasaan dalam satu setengah dekade terakhir. Loyalitas sulit ditemukan ketika ada benturan kepentingan. Lawan bisa menjadi kawan, demikian pun sebaliknya. Dulu orang bisa berdamai dalam koalisi, sekarang bisa saling menyerang sebagai oposisi.
Barangkali, relasi dan sikap para tokoh politik yang berubah-ubah itu seperti rima dan irama dalam sebuah pantun; periode sebelumnya 'a', periode berikutnya 'b', kembali ke 'a', begitu seterusnya. Bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim, relasi dan sikap politik itu bisa berpola acak seperti rima dan irama dalam pantun Ibu Mega yang absurd itu, sebentar 'a', lalu ke 'b', tiba-tiba saja sudah 'c'.
Lalu, apa yang penting dari pantun Pak Prabowo?
Reaksi! Menurut saya, yang paling penting adalah soal reaksi ketika menerima atau mendengar pantun. Pantun barangkali diucapkan dengan nada candaan atau serius, pun dapat menimbulkan reaksi yang juga dapat ditanggapi secara candaan atau pun serius pula (maka jangan heran kalau paslon nomor satu dilaporkan ke KPU karena pantun). Dan tentu saja, reaksi yang timbul itu tidak terlepas dari interpretasi.
Jika demikian, bagaimana interpretasi dan reaksi (yang ideal) setelah menerima pantun?
Mari kita kembali sejenak ke masa lalu, ketika orang-orang tua di Minangkabau menasihati anak-anak mereka. Dalam bingkai kekeluargaan dan adat, pantun menjadi salah satu media untuk menasihati anak-anak. Pantun berasal dari kata 'panuntun' yang bagi orang Minangkabau artinya 'penuntun'. Kumparan menjelaskan bahwa pantun adalah jenis sastra lisan yang sering digunakan untuk berbagai keperluan, seperti mengungkapkan perasaan cinta, menghibur, atau sebagai bagian dari ritual adat.