Mohon tunggu...
Mariemon Simon Setiawan
Mariemon Simon Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Silentio Stampa!

Orang Maumere yang suka makan, sastra, musik, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ingatan tentang Pirelli

29 Maret 2021   22:09 Diperbarui: 29 Maret 2021   22:37 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ronaldo de Lima saat masih membela Inter Milan. (Sumber: BolaNet)

Di sela-sela pelajaran Matematika, seorang teman yang sudah ogah berhitung diam-diam mengajak saya untuk membuat line-up pilihan, lengkap dengan pelatih, formasi, dan jersey. Sudah menjadi hobi. Buku catatan kami lebih banyak dipenuhi formasi dan ukiran nama pesepakbola, ketimbang mencatat rumus atau menggambar sistem pencernaan manusia.

Teman saya menggabungkan pemain senior-junior dalam skema 4-1-3-2. Duet Pepe dan Carragher akan mengawal Manuel Neuer, kiper muda yang tengah naik daun kala itu. Di sisi kiri kanan diisi Dani Alves dan Marcelo. Ia tempatkan Genaro Gattuso sebagai gelandang bertahan.

Sementara Steven Gerrrard, Paul Scholes, dan Thomas Muller akan menjadi gelandang kreatif yang menyokong duet Fernando Torres dan Zlatan Ibrahimovic di barisan depan. Pelatihnya Jose Mourinho!

Tim kami lalu diadu. Sebenarnya kami sama-sama belum mengerti soal taktik sepakbola. Yang kami debatkan hanyalah nama besar pemain dan kebengalan mereka jika terjadi adu jotos (maka jangan heran jika ia menempatkan Zlatan, Gatusso, Pepe, dan Mourinho).

Yang kami tahu hanya gaya permainan yang sering kami baca di tabloid Bola atau FourFourTwo, itu pun hanya mengetahuinya secara umum pula: kick and rush (tendang dan lari), catenaccio (grendel ala Italia), tiki-taka (operan pendek cepat sekali sentuhan), jogo bonito (permainan indah khas Brasil), hingga total football Belanda di tahun 1970-an (yang menurut saya tidak jauh beda dengan apa yang sering kami lakukan di lapangan seminari).

Setelah puas mengadu pemain dan pelatih (bagian ini saya kalah telak sebab fokus teman saya hanya pada 'tawuran' antar pemain), kami lalu mengadu jersey. Sebenarnya mengadu jersey sama halnya dengan mengadu kreativitas.

Saya menggambar jersey Barcelona dengan sponsor pertama: 'Unicef'. Sementara teman saya, merancang kostum berwarna dasar merah, dengan trim putih pada leher dan beberapa di lengan.

Gambar itu lalu kami adu dan perdebatkan lagi. Sekalipun saya menggunakan sponsor sebuah badan kemanusiaan PBB  yang mengurus anak-anak, tetap saja saya harus menyerah dari sebuah pabrik ban kendaraan.

Menariknya, teman saya yang adalah seorang Liverpudlian, tidak memilih 'Calsberg' atau 'Standar Chartered' sebagai sponsor untuk timnya. Teman saya berbisik: "Sponsor apa lagi yang abadi selain Pirelli?"

***

Sebagai seorang penikmat sepakbola, saya dan teman-teman seumuran lainnya mungkin tergolong 'generasi transisi' (akan saya jelaskan pada lain waktu). Kami masih merasakan babak-babak akhir masa jaya Liga Italia sebelum kasus calciopoli, sekaligus merasakan bagaimana awal mula beberapa tim Liga Inggris mulai kebanjiran uang minyak dari Timur Tengah.

Kami masih sering menyaksikan gol-gol receh minim skill Fillipo Inzaghi, kharisma Francesco Totti atau Alesandro del Piero, duet elegan Paolo Maldini dan Alesandro Nesta, hingga tim idaman AC Milan asuhan Carlo Ancelotti.

Kejamnya Marco Materazzi di lini belakang Inter Milan (dan Andry Shevchenko yang sering jadi korbannya), rambut unik Nelson Dida, tampannya Christian Vieri, hingga si botak berwajah sangar bernama Juan Veron adalah sisa-sisa ingatan tentang Liga Italia dari bocah-bocah SD yang lebih doyan bergaul bersama kakak-kakaknya demi melihat-lihat gambar di Bolavaganza atau ikut menonton Real Madrid TV.

Namun, dari semua ingatan tersebut, mungkin teman saya tadi benar. Tidak ada yang lebih mudah diingat selain 'Pirelli'.

***

Striker asal Italia, Christian Vieri, kala masih membela Inter Milan. (Sumber: TribunNews)
Striker asal Italia, Christian Vieri, kala masih membela Inter Milan. (Sumber: TribunNews)

Perusahaan buku tulis secara tidak langsung telah merasuki saya (dan mungkin teman-teman lain) untuk semakin mencintai sepakbola. Siapa yang tidak bangga jika memiliki buku tulis dengan cover depan bergambar David Beckham atau Luis Figo?

Siapa yang  tidak senang jika memiliki buku bergambar Francesco Totti sewaktu berambut panjang yang lebih mirip seorang aktor Hollywood? Bahkan sekalipun saya begitu mengagumi kecantikan Diana Pungky kala itu, saya lebih tertarik punya buku tulis bergambar Genaro Gattuso.

Pirelli mendapat tempat istimewa, sebab ia menghiasi bagian depan jersey Inter Milan hingga kini. Di antara semua cover buku tulis bergambar pemain sepakbola, tidak ada sponsor yang lebih  ikonik dari Pirelli.

Saya pernah memiliki beberapa koleksi buku tulis: Ruud van Nistelrooy berkostum Manchester United dengan sponsor Vodafone, Zinedine Zidane dengan Siemens Mobile, Rui Costa dengan Opel, Robert Pires dengan O2, Kaka dengan Bwin, hingga Cristiano Ronaldo dengan AIG.

Namun, tidak ada yang lebih ikonik dari Francesco Toldo, Alvaro Recoba, atau Christian Vieri yang mengenakan jersey Inter Milan dengan sponsor Pirelli.

Pirelli ibarat sponsor abadi, begitu membekas dalam kenangan, menemani sepak terjang Inter Milan dari tahun ke tahun, sudah ada sejak saya masih bocah SD ingusan yang merasa diri tampan seperti Totti hingga menjadi mahasiswa filsafat semester 10 kini.

Pirelli sejatinya adalah perusahaan ban kendaraan, seharusnya lebih akrab dengan lintasan balap. Namun, Pirelli justru lebih lekat dengan sepakbola dalam ingatan. Ia melaju selama lebih dari 25 tahun bersama sepakbola, khususnya bersama Inter Milan, dan membawa Nerazzuri melaju kencang hingga puncak treble winners pada musim 2009/2010.

Teman saya, seorang Interisti sejati, bahkan ketika Inter tengah terpuruk sekalipun, cintanya pada Nerazzuri tidak pernah pudar. Ia mempelesetkan namanya dari 'Yelfri' menjadi 'Yel-Vieri'.

Sudah sejak SD hingga di bangku kuliah semester 8 kini, hanya ada kaos Inter Milan yang awet di lemari pakaiannya. Bahkan ketika sama-sama tinggal di asrama, semua teman seangkatan sudah tahu siapa pemilik jersey Pirelli di ruang jemur. Ia makin nyaman dengan klub pujaannya itu ketika mengetahui bahwa ia lahir sehari sebelum Lautaro Martinez dilahirkan!

Saya bukan Interisti apalagi simpatisannya. Saya seorang fans Barcelona yang justru membenci Inter Milan (era Mourinho) setelah menyingkirkan Barcelona di semifinal UCL 2009/10.

Namun, harus diakui bahwa Pirelli (dan Inter Milan) telah menyertai perjalanan saya selama menikmati sepakbola. Sejak dikenakan Ronaldo de Lima hingga Zlatan Ibrahimovic, sejak Diego Milito hingga Romelu Lukaku, Pirelli setia mendekam di dada mereka.

Usia perak lebih bukanlah waktu yang singkat. Bahkan kerja sama Pirelli dan Inter Milan itu lebih tua dari usia saya.

Pirelli dan Inter Milan telah merepresentasekan sepakbola yang selalu penuh drama dan pasang surut, persis seperti kehidupan. Hidup (dan sepakbola) memang seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Dan sebagai perusahaan roda kendaraan, Pirelli pasti paham betul akan hal itu.

Layaknya seorang istri, Pirelli setia menemani Inter Milan dalam berbagai situasi, dari keterpurukan hingga kejayaan, dari pahitnya kekalahan hingga euforia kemenangan, dari kesedihan musim-musim tanpa gelar hingga tiga gelar dalam semusim.

Boleh jadi, kerja sama antara Pirelli dan Inter Milan adalah simbol loyalitas, sesuatu yang mulai sulit ditemukan dalam sepakbola modern saat ini.

***

Saya pun teringat kembali bisikan teman saya tadi: "Sponsor apa lagi yang abadi selain Pirelli?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun