Pirelli ibarat sponsor abadi, begitu membekas dalam kenangan, menemani sepak terjang Inter Milan dari tahun ke tahun, sudah ada sejak saya masih bocah SD ingusan yang merasa diri tampan seperti Totti hingga menjadi mahasiswa filsafat semester 10 kini.
Pirelli sejatinya adalah perusahaan ban kendaraan, seharusnya lebih akrab dengan lintasan balap. Namun, Pirelli justru lebih lekat dengan sepakbola dalam ingatan. Ia melaju selama lebih dari 25 tahun bersama sepakbola, khususnya bersama Inter Milan, dan membawa Nerazzuri melaju kencang hingga puncak treble winners pada musim 2009/2010.
Teman saya, seorang Interisti sejati, bahkan ketika Inter tengah terpuruk sekalipun, cintanya pada Nerazzuri tidak pernah pudar. Ia mempelesetkan namanya dari 'Yelfri' menjadi 'Yel-Vieri'.
Sudah sejak SD hingga di bangku kuliah semester 8 kini, hanya ada kaos Inter Milan yang awet di lemari pakaiannya. Bahkan ketika sama-sama tinggal di asrama, semua teman seangkatan sudah tahu siapa pemilik jersey Pirelli di ruang jemur. Ia makin nyaman dengan klub pujaannya itu ketika mengetahui bahwa ia lahir sehari sebelum Lautaro Martinez dilahirkan!
Saya bukan Interisti apalagi simpatisannya. Saya seorang fans Barcelona yang justru membenci Inter Milan (era Mourinho) setelah menyingkirkan Barcelona di semifinal UCL 2009/10.
Namun, harus diakui bahwa Pirelli (dan Inter Milan) telah menyertai perjalanan saya selama menikmati sepakbola. Sejak dikenakan Ronaldo de Lima hingga Zlatan Ibrahimovic, sejak Diego Milito hingga Romelu Lukaku, Pirelli setia mendekam di dada mereka.
Usia perak lebih bukanlah waktu yang singkat. Bahkan kerja sama Pirelli dan Inter Milan itu lebih tua dari usia saya.
Pirelli dan Inter Milan telah merepresentasekan sepakbola yang selalu penuh drama dan pasang surut, persis seperti kehidupan. Hidup (dan sepakbola) memang seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Dan sebagai perusahaan roda kendaraan, Pirelli pasti paham betul akan hal itu.
Layaknya seorang istri, Pirelli setia menemani Inter Milan dalam berbagai situasi, dari keterpurukan hingga kejayaan, dari pahitnya kekalahan hingga euforia kemenangan, dari kesedihan musim-musim tanpa gelar hingga tiga gelar dalam semusim.
Boleh jadi, kerja sama antara Pirelli dan Inter Milan adalah simbol loyalitas, sesuatu yang mulai sulit ditemukan dalam sepakbola modern saat ini.
***