Kejadian seperti ini umumnya terjadi ketika sedang duduk melantai bersama keluarga atau teman-teman.
Saya sendiri tidak mengerti, apa hubungan antara melanggar kaki dengan tinggi badan seseorang. Namun, tampaknya bentuk pemali ini berhubungan dengan kesopanan agar kita lebih memperhatikan sopan santun dan tidak malu-malu atau gengsi untuk mengucapkan permisi.
4. Jangan memukul kepala orang lain.
Sewaktu kecil dulu, ketika sedang bermain bersama teman-teman, saya selalu berusaha untuk tidak memukul kepala teman. Konon, jika kepala terkena pukulan atau terbentur benda keras, si 'korban' akan mi'i kutu (ngompol) pada malam hari.
Jika kepala terkena pukulan atau terbentur benda keras, cara untuk menetralkannya adalah dengan memukul-mukul dagu sendiri sebagai balasan. Mungkin sebagai 'penyeimbang' rasa sakit. Saya pun tidak mengerti dan belum menemukan alasan ilmiah, apa hubungan antara kepala yang terkena pukulan atau benturan dengan ngompol.
Tampaknya, pamali seperti ini punya modus yang baik, tentunya untuk menghindari aksi kekerasan dalam lingkungan bermain anak-anak.
***
Pemali itu sendiri tentunya tidak terlepas dari kebiasaan dan pengalaman dari leluhur di masa lampau yang diwariskan turun-temurun. Adanya pemali pun tidak terlepas dari keyakinan masyarakat lokal akan adanya 'makhluk lain' yang tidak terlihat, tetapi diyakini ada.
Beberapa hal mungkin terlihat tidak masuk akal, bahkan terkesan lucu dan tidak ada hubungan sama sekali, bahkan beberapa diantaranya juga dapat disangkal berkat kemajuan zaman.
Namun, bagi saya, pamali sebenarnya salah satu bentuk pendidikan dari masa lampau yang tentunya bertujuan untuk menegakan kesopanan, penghargaan terhadap orang lain, dan untuk keamanan diri.
Sekalipun terkesan kuno, toh pemali ini cukup efektif untuk mengontrol pola perilaku anak-anak, teristimewa untuk meningkatkan rasa penghargaan terhadap orang lain. Percayalah, sekalipun anak-anak Maumere memiliki fisik tangguh, keras, dan bersuara lantang, mereka pun kerap takut terhadap pemali-pemali tertentu.