Maumere, sebuah kota kecil di Pulau Flores-NTT, tidak saja mempesona dan menarik karena kekayaan alam dan keramahan masyarakat lokal yang welcome terhadap tamu dari luar, tetapi juga memiliki keragaman budaya yang unik dan khas.
Jika kamu berkunjung ke Maumere, kamu bisa menjelajahi beberapa tempat yang menyajikan produk-produk budaya lokal yang menarik seperti kain tenun, moke (atau disebut juga: tua, minuman tradisional beralkohol khas Maumere)
Berbicara soal budaya dan kebiasaan masyarakat, tampaknya tidak lengkap jika tidak membahas tentang 'pemali' (orang Maumere menyebutnya 'pire').
Sewaktu saya kecil dulu, ada beberapa pemali  yang tampaknya 'dikhususkan' untuk anak-anak yang akrab di telinga saya. Mama-mama kerap menegur anak-anak mereka jika melakukan sesuatu yang dianggap tabu: loa, ata pire! (Jangan, pemali!)
Tentu saja, bentuk-bentuk pemali ini sukar untuk dipahami kelogisannya, apalagi untuk anak-anak belum mampu memikirkan tentang 'mitos sebagai produk budaya'. Sekalipun zaman sudah berkembang makin maju, toh masih ada beberapa pire yang bisa saja ditemui jika kamu berkunjung ke sana.
1. Jangan memotong kuku pada malam hari.
Ini adalah salah satu bentuk pire yang paling populer sejak saya kecil, yang masih terdengar hingga hari ini. Sewaktu kecil dulu, saya selalu dilarang nenek untuk tidak menggunakan benda tajam pada malam hari, teristimewa memotong kuku dengan pemotong kuku atau silet.
Konon kata nenek, memotong kuku pada malam hari dapat membawa celaka karena malam hari adalah waktu bagi 'makhluk halus' untuk beraktivitas. Mereka akan dengan sengaja menggoyang tangan kita atau pemotong kuku, sehingga tangan bisa terluka dan berdarah.
Mama-mama Maumere kerap menegur anak-anak mereka: 'Jangan gunting kuku malam-malam. Nanti setan tolak!"
Waktu kecil, saya begitu takut dengan pemali ini. Hingga suatu saat, sebuah percakapan dengan kakek akhirnya membuat saya berani memotong kuku pada malam hari.
"Bisa tida sa gunting kuku malam-malam?"Â (Bisakah saya memotong kuku pada malam hari?)
"Bisa, ka. Kami dulu tida gunting kuku malam-malam karena dulu tida ada lampu."Â (Tentu saja bisa. Dulu, kami tidak memotong kuku waktu malam karena dulu tidak ada lampu.)
Masuk akal.
2. Jangan makan di tempat yang gelap.
Lagi, bentuk pemali ini berkaitan dengan aktivitas setan pada malam hari. Kata nenek, makan di tempat yang gelap dapat menyebabkan sial. 'Makhluk halus' akan menukar makanan kita dengan makanan yang masih mentah atau daging mentah sehingga menyebabkan sakit perut dan muntah-muntah.
Saya dan seorang teman pernah mengalami hal ini. Suatu malam di asrama, saya dan seorang teman tengah menonton pertandingan Liga Champions dari balik semak yang gelap. Ia juga menyiapkan segelas kopi untuk menemani nobar 'ilegal' kami.
Sepanjang babak pertama, kopi itu tidak kami sentuh. Baru ketika babak kedua akan dimulai, ia mohon izin menyeruput lebih dulu. Tiba-tiba ia terbatuk-batuk dan memuntahkan kembali kopinya. Sial. Kopi itu sudah dikerubungi semut!
Saya sendiri tidak tahu apakah pamali ini hanya tipuan untuk menakut-nakuti anak-anak atau tidak, yang jelas pamali ini sangat efektif untuk kehidupan bersama, teristimewa di asrama.
Selama saya hidup di asrama, ada satu hal menarik yang saya temukan: orang yang makan sendirian dalam gelap adalah orang-orang mage (pelit) yang tidak mau membagi makanannya dengan orang lain. Hah.
3. Jangan melanggar atau melangkahi kaki orang yang sedang duduk atau tidur.
Melanggar atau melangkahi kaki seseorang yang sedang duduk dengan kaki lurus ke depan diyakini dapat membuat orang yang dilanggar menjadi pendek. Demikian kata nenek saya. Untuk memutuskan pemali tersebut, si pelanggar harus melanggar balik dari arah berlawanan.
Kejadian seperti ini umumnya terjadi ketika sedang duduk melantai bersama keluarga atau teman-teman.
Saya sendiri tidak mengerti, apa hubungan antara melanggar kaki dengan tinggi badan seseorang. Namun, tampaknya bentuk pemali ini berhubungan dengan kesopanan agar kita lebih memperhatikan sopan santun dan tidak malu-malu atau gengsi untuk mengucapkan permisi.
4. Jangan memukul kepala orang lain.
Sewaktu kecil dulu, ketika sedang bermain bersama teman-teman, saya selalu berusaha untuk tidak memukul kepala teman. Konon, jika kepala terkena pukulan atau terbentur benda keras, si 'korban' akan mi'i kutu (ngompol) pada malam hari.
Jika kepala terkena pukulan atau terbentur benda keras, cara untuk menetralkannya adalah dengan memukul-mukul dagu sendiri sebagai balasan. Mungkin sebagai 'penyeimbang' rasa sakit. Saya pun tidak mengerti dan belum menemukan alasan ilmiah, apa hubungan antara kepala yang terkena pukulan atau benturan dengan ngompol.
Tampaknya, pamali seperti ini punya modus yang baik, tentunya untuk menghindari aksi kekerasan dalam lingkungan bermain anak-anak.
***
Pemali itu sendiri tentunya tidak terlepas dari kebiasaan dan pengalaman dari leluhur di masa lampau yang diwariskan turun-temurun. Adanya pemali pun tidak terlepas dari keyakinan masyarakat lokal akan adanya 'makhluk lain' yang tidak terlihat, tetapi diyakini ada.
Beberapa hal mungkin terlihat tidak masuk akal, bahkan terkesan lucu dan tidak ada hubungan sama sekali, bahkan beberapa diantaranya juga dapat disangkal berkat kemajuan zaman.
Namun, bagi saya, pamali sebenarnya salah satu bentuk pendidikan dari masa lampau yang tentunya bertujuan untuk menegakan kesopanan, penghargaan terhadap orang lain, dan untuk keamanan diri.
Sekalipun terkesan kuno, toh pemali ini cukup efektif untuk mengontrol pola perilaku anak-anak, teristimewa untuk meningkatkan rasa penghargaan terhadap orang lain. Percayalah, sekalipun anak-anak Maumere memiliki fisik tangguh, keras, dan bersuara lantang, mereka pun kerap takut terhadap pemali-pemali tertentu.
Btw, apakah Anda tahu di mana letak kota Maumere, Pulau Flores-NTT? Jika Anda baru tahu Maumere gara-gara 'kerumunan' yang sempat viral pada Februari lalu, tampaknya kamu harus mengingat-ingat lagi pelajaran IPS dulu.
Saya yakin, di antara para Kompasianer di sini, pasti ada yang pernah bergoyang dengan iringan lagu Gemu Fa Mi Re atau dibuat baper setelah mendengar lagu Karna Su Sayang; dua lagu fenomenal karya putra-putri dari Maumere.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H