Aksi kudeta ini membuat sejumlah rangkaian protes besar-besaran yakni turunnya para demonstran ke jalan-jalan menyuarakan protes untuk mengembalikan pemerintahan Aung San Suu Kyi, dan juga mengecam tindakan brutal militer Junta yang melanggar hak asasi manusia.
Namun di bawah Panglima Tertinggi jenderal Senior Min Aung Hlaing, pihak militer mengambil tindakan tembakan gas air mata, peluru karet, senjata tajam, granat kejut dan kekerasan untuk menghalau massa pro-demokrasi. Pihak militer juga menutup layanan internet, wifi publik dan mempersulit arus informasi di negara yang sangat bergantung pada data seluler.
Melihat kasus kudeta yang terjadi ini, menarik untuk membahas hal tersebut kedalam unsur geopolitik
Aung San Suu Kyi merupakan proxy Amerika Serikat sedangkan Min Aung Hlaing adalah proxy China dan Rusia. Adapun kudeta yang terjadi ini menyoroti batas-batas kekuatan Barat di era baru sentralitas geopolitik Asia yang justru memperkuat posisi Rusia dan China.
Hal ini diperjelas lewat kehadiran Wakil Menteri Pertahanan (Menhan) Rusia, Alexander Fomin, yang menghadiri parade militer saat peringatan hari Angkatan Darat pada 27 Maret di Naypyidaw.
Menurut media nasional Rusia, kunjungan Fomin bertujuan untuk mempererat hubungan militer antara Rusia dan Myanmar yang dapat diindikasikan sebagai tantangan yang dihadirkan pada hubungan kekuatan besar Asia oleh kudeta yang kacau balau di Myanmar.
Pernyataan terkait dengan intrik kekuatan proxy yang dapat mengubah geopolitik kawasan juga dapat meramalkan bagaimana kondisi yang terjadi di Myanmar.
Kudeta Myanmar akan menjadi “Cygnus atratus” atau merujuk pada peristiwa langka yang berdampak besar, sulit diprediksi dan di luar perkiraan. Dan bahwa Kudeta Myanmar menimbulkan tiga implikasi geopolitik yaitu:
- Membawa Rusia ke dalam permainan dalam upaya mengukir tempat bertengger di Asia.
- Menyoroti kelemahan India sebagai sekutu regional yang pro-Barat.
- Memposisikan China sebagai kunci keamanan sementara kekuatan Barat duduk diam di pinggir saat mereka bersiap untuk menahan Tiongkok.
Tidak hanya itu, negara-negara tetangga Myanmar seperti Bangladesh, Laos dan Thailand juga ikut hadir di dalam parade militer di ibu kota Myanmar, menyoroti kepentingan keamanan mereka yang sempit juga melihat bagaimana wilayah Myanmar yang terpecah karena konflik internal.
Hal ini juga terefleksikan saat ASEAN memperjuangkan krisis Myanmar melalui pembentukan konsensus keprihatinan dan tindakan yang disepakati untuk meredakan situasi, namun Thailand dan Vietnam tetap kuat di dalam pendiriannya dengan dalih memberikan pernyataan bahwa kudeta adalah urusan internal.
Kemudian, efek dari kudeta juga mempengaruhi dan mengganggu perhitungan geopolitik Washington di pemerintahan Biden. Sebagai presiden baru Amerika Serikat, Biden sedang mencoba untuk mengikat ASEAN menjadi benteng yang lebih efektif melawan China, namun gagal akibat kudeta Myanmar yang terjadi.