Krisis Demokrasi : Junta militer menentang perubahan ideologi Myanmar, dari Komunis menjadi Demokrasi
Belum selesai dengan kasus Rohingya, kini Myanmar kembali menghadapi pergolakan internal. Pada awal tahun 2021, dunia dikejutkan dengan berita yang datang dari negara di mana hak asasi manusia dilanggar.
Dilansir dari Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), eskalasi kekerasan oleh militer Junta mengakibatkan 3371 orang ditangkap, dituntut, atau dijatuhi hukuman. 1118 orang didakwa dengan surat perintah dan 745 korban jiwa tewas sejak kudeta dimulai pada Senin (1/2/2021).
Apa penyebabnya?
Sebelum menilik lebih lanjut, pada dasarnya dari tahun 1962-2011 Myanmar berada di bawah kekuasaan militer dan singkat cerita negara ini berubah dari salah satu negara Asia Tenggara paling menjanjikan menjadi salah satu yang termiskin di dunia di bawah kekuasaan militer.
Tanggal 8 November 2020, tepatnya saat pemilihan umum (pemilu) tengah diselenggarakan, Aung San Suu Kyi, politisi dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) terpilih sebagai pemimpin berdaulat Myanmar dan memenangkan 82% kursi. Hasil pemilu menunjukkan Aung San Suu Kyi, sah sebagai pemimpin dengan jumlah kursi yang cukup untuk membangun pemerintahan.
Namun pertentangan datang. Pihak militer di bawah Panglima Tertinggi jenderal Senior Min Aung Hlaing memprotes dan menuduh pemilu yang diadakan ini penuh dengan "kejanggalan". Pihak militer juga menuntut untuk melakukan pemungutan suara ulang karena merasa ada bentuk penipuan pada 9 juta suara yang diberikan dalam pemilihan yang terjadi.
Dibawah Panglima Tertinggi jenderal Senior Min Aung Hlaing, pihak militer merasa benar secara hukum dan menuntut Komisi Pemilu Bersatu (UEC) atau the United Elections Commission (UEC) of Myanmar yang mengawasi pemilu, atau pemerintah, atau anggota parlemen yang keluar untuk membuktikan pada sesi khusus sebelum parlemen baru bersidang pada 1 Februari, bahwa pemilu itu bebas dan adil.
Permintaan ditolak. UEC dengan tegas mengatakan tidak ditemukan bukti apapun terkait kecurangan voting atau penipuan, dan bahwa masing-masing suara adalah "terhitung secara terbuka dan disaksikan oleh kandidat pemilu, staf pemilihan, media, observers dan organisasi masyarakat lainnya".
Kendati demikian, pada 1 Februari 2021, tepatnya pada Senin dini hari waktu setempat, Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin militer Myanmar Tatmadaw melakukan aksi kudeta kekuasaan di Naypyidaw.
Menggulingkan dan menahan Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan politisi partai NLD lainnya. Dan pada jam 10 lewat 30 menit, pihak militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun, dan menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Min Aung Hlaing.
Aksi kudeta ini membuat sejumlah rangkaian protes besar-besaran yakni turunnya para demonstran ke jalan-jalan menyuarakan protes untuk mengembalikan pemerintahan Aung San Suu Kyi, dan juga mengecam tindakan brutal militer Junta yang melanggar hak asasi manusia.
Namun di bawah Panglima Tertinggi jenderal Senior Min Aung Hlaing, pihak militer mengambil tindakan tembakan gas air mata, peluru karet, senjata tajam, granat kejut dan kekerasan untuk menghalau massa pro-demokrasi. Pihak militer juga menutup layanan internet, wifi publik dan mempersulit arus informasi di negara yang sangat bergantung pada data seluler.
Melihat kasus kudeta yang terjadi ini, menarik untuk membahas hal tersebut kedalam unsur geopolitik
Aung San Suu Kyi merupakan proxy Amerika Serikat sedangkan Min Aung Hlaing adalah proxy China dan Rusia. Adapun kudeta yang terjadi ini menyoroti batas-batas kekuatan Barat di era baru sentralitas geopolitik Asia yang justru memperkuat posisi Rusia dan China.
Hal ini diperjelas lewat kehadiran Wakil Menteri Pertahanan (Menhan) Rusia, Alexander Fomin, yang menghadiri parade militer saat peringatan hari Angkatan Darat pada 27 Maret di Naypyidaw.
Menurut media nasional Rusia, kunjungan Fomin bertujuan untuk mempererat hubungan militer antara Rusia dan Myanmar yang dapat diindikasikan sebagai tantangan yang dihadirkan pada hubungan kekuatan besar Asia oleh kudeta yang kacau balau di Myanmar.
Pernyataan terkait dengan intrik kekuatan proxy yang dapat mengubah geopolitik kawasan juga dapat meramalkan bagaimana kondisi yang terjadi di Myanmar.
Kudeta Myanmar akan menjadi “Cygnus atratus” atau merujuk pada peristiwa langka yang berdampak besar, sulit diprediksi dan di luar perkiraan. Dan bahwa Kudeta Myanmar menimbulkan tiga implikasi geopolitik yaitu:
- Membawa Rusia ke dalam permainan dalam upaya mengukir tempat bertengger di Asia.
- Menyoroti kelemahan India sebagai sekutu regional yang pro-Barat.
- Memposisikan China sebagai kunci keamanan sementara kekuatan Barat duduk diam di pinggir saat mereka bersiap untuk menahan Tiongkok.
Tidak hanya itu, negara-negara tetangga Myanmar seperti Bangladesh, Laos dan Thailand juga ikut hadir di dalam parade militer di ibu kota Myanmar, menyoroti kepentingan keamanan mereka yang sempit juga melihat bagaimana wilayah Myanmar yang terpecah karena konflik internal.
Hal ini juga terefleksikan saat ASEAN memperjuangkan krisis Myanmar melalui pembentukan konsensus keprihatinan dan tindakan yang disepakati untuk meredakan situasi, namun Thailand dan Vietnam tetap kuat di dalam pendiriannya dengan dalih memberikan pernyataan bahwa kudeta adalah urusan internal.
Kemudian, efek dari kudeta juga mempengaruhi dan mengganggu perhitungan geopolitik Washington di pemerintahan Biden. Sebagai presiden baru Amerika Serikat, Biden sedang mencoba untuk mengikat ASEAN menjadi benteng yang lebih efektif melawan China, namun gagal akibat kudeta Myanmar yang terjadi.
Lebih dari itu, kudeta yang terjadi di Myanmar juga telah mengungkap betapa tidak berdayanya kekuatan Barat serta organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) lewat salah satu badan utama yang ada, yaitu Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB dalam kasus ini terbukti buntu akibat posisi China dan Rusia yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan yang tidak akan mengizinkan tindakan hukuman.
Dari beberapa implikasi geopolitik, kudeta juga telah sepenuhnya mengubah lanskap politik negara Myanmar. Situasi yang tidak stabil dibawah kendali absolut militer dan perubahan yang akan terus menerus terjadi, telah berdampak luas sampai ke seluruh negara di Asia. Suu Kyi telah dipaksa hadir di pengadilan atas tuduhan yang diakui oleh komunitas internasional sebagai palsu atau dibuat-buat.
Konsekuensi transnasional dari kudeta juga mulai terlihat seperti, pengusaha besar Jepang, Kirin Holdings yang mencanangkan akan menghentikan dua usaha bersama dengan Myanmar Economic Holdings Ltd (MEHL) di Myanmar Brewery dan Mandalay Brewery dengan alasan kudeta di Myanmar telah melanggar HAM.
Dilansir dari thediplomat.com, Kirin Holdings mengatakan tindakan militer itu "bertentangan dengan standar dan kebijakan hak asasi manusia kami," "Kami tak punya pilihan selain mengakhiri kemitraan kerja sama kami.”
Demikian pula, banyak pengamat memproyeksikan penurunan ekonomi Myanmar lebih lanjut karena pembatasan kebebasan sipil yang diberlakukan oleh pihak militer serta ketidakmampuan umum Junta untuk mengelola kebijakan moneter dan pasar.
***
Penulis : Maria Gabriella Schlonsky, Rudi Pangidoan, Regina Princesa, Irenia Shintike, dan Puji Silalahi - Mahasiswa semester 6 Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H