"Siapa, Lita?" tanya istriku ketus.
   "Oh, aku tahu, teman kantor kan? Sering makan berdua. Pantas, jarang makan di rumah," lanjut istriku.
   "Dengarkan aku, Yang."
    Belum selesai aku bicara, istriku melayangkan satu tamparan keras. Aku tak bereaksi. Suasana semakin menegangkan. Aku tak dibiarkan bicara. Ada kesedihan yang hebat, saat wajah cantik istriku ternoda air mata. Wajah periang itu hilang dalam sekejap. Aku makin merasa bersalah. Tidak seharusnya aku baru memberi tahunya.
   "Yang," panghilku membuka percakapan saat istriku tenang.
   "Tidak ada Sayang-Sayang," ketusnya.
    Aku hendak bicara, Lita tiba-tiba telepon. Istriku merebut ponsel.
    "Mas, sudah beri tahu istrimu?" cakap dari seberang.
    Istriku gemetaran. Wajahnya memucat.
    "Kok diam, Mas?"
    "Ya, sudah, Mas. Nanti kuhubungi lagi," tutup Lita.