Di Balik Senyum Senja
Rerumputan dan ilalang menjadi saksi cinta yang bersemi di hati. Dua insani yang dilanda kasih sejati itu, memilih beradu kasih, sebelum nantinya beranjak ke hal baru.
"Apakah kau rela mati demi aku?" tanya Rido berbisik di telinganya.
Astin mengecup keningnya. Memeluknya seolah tak ingin Rido menjauh.
"Apakah aku punya alasan untuk hidup tanpamu?" Astin tersenyum.
"Bisakah aku melalui hari tanpa senyummu?" tanya Astin lagi.
Rido bahagia. Tersurat mahabesar kelam di balik wajahnya. Ia masih ingat, bagaimana diperlakukan oleh keluarganya. Ia diusir, tak dianggap anak jika berkukuh memilih Astin. Melepaskan yang terikat bukanlah keinginannya.
"Do, bukankah ini waktu yang tepat?"
"Lihatlah senja itu, Do, sangat indah. Aku ingin menggapainya," lanjut Astin.
"Kita akan ke sana," jawab Rido.
Ia membuka tas kecilnya. Mengambil minuman kesukaan mereka. Mereka menikmati sebotol minuman bersam dengan sedotan berbeda.
"Aku mencintaimu," kata Astin memeluknya.
Mereka menunggu reaksi minuman yang dicampur bubuk beracun itu. Mereka menunggu seolah itu pilihan terbaik. Dan terjadilah, Astin mual-mual.
"Ting...ting...," dering ponsel Rido berdering.
Sejenak ia menatap ponsel. Pesan masuk. Ia bergegas membukanya.
"Apa ini pilihan terbaik? Bisakah kamu bersikap lebih realistis?" pesan ayahnya.
Rido termaangu. Ada makna di balik pesan itu. Ia bisa menganalisa. Hanya saja sudah terlambat. Ia menunjukkan pesan itu kepadanya. Astin ikut terdiam. Ponsel berdering lagi.
"Ayah sudah menukar minumannya."
Keduanya mematung.
"Terus, kenapa kamu mual-mual? Bukannya itu efek obat?" Rido bingung.
"Jangan-jangan, ...," Rido tidak melanjutkan.
"Heee, aku sudah telat dua bulan, Do," Astin terkekeh.
15 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H