***
            Ibu masih diam seperti hari sebelumnya. Rutinitasnya sebagai pengurus rumah tangga dijalani tanpa cela. Ayah masih diam sejak pagi tadi. Mungkin ayah memikirkan angka-angka untuk tebakan jam 3 sore nanti, entahlah!
      "Bu, bagaimana ini? Ayah harus melunasi utang Pak Joko dan utang lainnya," kata ayah pelan.
            Wajah ayah tampak lugu menimbulkan rasa iba. Ibu hanya tersenyum manis di depan ayah. Ah, ibuku memang baik. Baik sekali. Sampai-sampai rela meminjam uang kakek untuk melunasi utang ayah. Ibu sangat mencintai ayah sampai hari ini, bahkan selamanya, itu terlihat dari wajah ibu yang baik-baik saja.
      "Tenang, Yah. Ada kok. Jangan tanya Ibu dapat dari mana. Intinya ini halal," jelas ibu.
            Ayah diam. Ia hanya bisa menunduk. Tidak ada kata terima kasih dari mulut ayah. Ibu tersenyum lagi. Ibuku baik. Baik sekali. Ayahku baik. Memang baik ayahku. Ia berhenti dari lingkaran perjudian tanpa dimintai ibu. Baik kan ayahku? Astaga, keliru kalau orang menilai kalau ayahku tidak baik! Panggilan bos saja masih melekat. Panggilan itu semacam menjadi bagian dari hidup ayah. Bisa jadi, ayah ditakdirkan untuk berganti nama!
                                                            ***
            Beberapa bulan berlalu berlalu kios ayah aktif kembali. Kali ini ibu dipercaya mengurus bisnis. Ayah masih sibuk melototi buku-buku yang berisi angka-angka. Kali ini angka-angka rupiah. Ya, ayah jadi bendahara kios yang dikelola ibu. Untuk ayam pedaging, di-stop-kan sementara.
            Aku tahu persis jam kerja ayah. Setiap jam 14. 30, ayah pasti masuk kamar.
            "Bu, Ayah istirahat sejenak ya," kata ayah seperti biasanya.
            Ibu pasti tersenyum saja menjawabnya.