Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Ame

16 Februari 2023   20:42 Diperbarui: 16 Februari 2023   20:44 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                         Air Mata, Ame!

            Berduyun-duyun orang-orang berdatangan. Ramai mereka perbincangkan perihal yang terjadi. Masih kuingat, malam itu, di kampungku hujan lebat pertengahan Maret ini. Ada yang merasa iba sebab kejadiannya tidak harus sesadis itu!

            "Kasihan ya, kok bisa begitu?" kata seorang ibu yang berdiri di sampingku.

           "Namanya kesabaran, pasti ada batasnya. Mungkin ia tida kuat lagi menghadapi masalahnya," jawab yang lainnya.

            Aku hanya tertegun. Tak terasa, air mata berlinang di ujung mata. Ada rasa haru mendengar isak tangis sanak famili.

            "Ah, tetanggaku, seperti itukah ia mengakhiri hidupnya?" gumamku.

            Sebagai tetangga rumah, tentunya aku tidak tinggal diam. Aku seperti yang lainnya, mulai sibuk mendirikan tenda darurat di luar rumah sederhana itu. Yang lainnya, sibuk menyiapkan terpal untuk atapnya. Yang lain, yah, yang lain hanya menonton. Yang lain sibuk memfoto si tua yang berbaring lemas di tengah rumah untuk segera di-upload di media sosial. Tentunya ini juga bagus. Di era modern ini, berita tidak lagi harus bertemu langsung, cukup di telepon atau di-upload di facebook saja.

            Ine1 Marta masih belum habis nangisnya. Ia meraung-raung di tengah kerumunan keluarga lainnya. Bisa dikata, ia adalah makhluk tersedih sejagat ini, untuk saat ini. Matanya sembab. Ia mengguncang-guncang tubuh sang suami yang sudah tidak bernyawa lagi. Ia kehilangan suara kemudian. Ia lesu dalam kacau balau perihnya.

            Ada yang menarik sore itu. Aku sengaja masuk di tengah kerumunan ingin melihat wajah lemas itu untuk terakhir kalinya. Anak laki-laki keduanya duduk merenung di sudut rumah. Ia tidak menangis seperti ibunya atau seperti kakak sulungnya, ia hanya menatap kosong ke arah jendela. Bisa jadi, ia terima kesusahan ini, ia mungkin mencoba tegar menghadapi duka ini. Ia baru saja pulang dari Bali sejak kepergiannya tujuh tahun silam. Ia pulang, ketika diberi kabar, sang tulang punggung tiada.

                                                                                                                              ***

            Asap mengepul dari dapur samping rumahku. Aku tahu, Ine Marta dan Ame2 Paulus sudah bangun sejak subuh. Aku tahu pasti, karena mereka akan ke kebun sesaat aku masih siap-siap ke sekolah. Aku menyapanya setiap pagi, karena ia selalu lewat di depan rumahku menuju kebunnya dengan gogong3 panjang semeter di punggungnya yang ia gantung di kayu di atas pundaknya. Ia sudah tua, malah sudah bungkuk, hanya saja giatnya belum luntur jua. Maklum, masih ada tanggung jawab besar dalam hidupnya, yaitu menjadikan salah satu anaknya sarjana. Itu adalah cita-citanya sejak dulu.

            "Ame," panggilku.

            Ia berhenti sejenak. Tersenyum padaku yang masih asyik menyisir rambut di dekat jendela. Aku menawarkannya rokok, aku tahu, ia adalah pecinta rokok yang sampai hari ini belum mundur.

            "Kamu sudah bahagia, sudah sarjana. Di panggil guru lagi," candanya sambil menyalakan rokok.

            Aku tertawa kecil. Candanya menurutku berlebihan. Zaman sekarang, guru bukanlah profesi yang membanggakan, gaji kecil, juga sering menjadi bahan cemoohan masyarakat.

               Ine1 Panggilan untuk mama atau ibu dalam bahasa Manggarai, Flores, NTT. Ame2 panggilan untuk ayah atau bapak dalam                            bahasa Manggarai, Flores, NTT. Gogong3 Bahasa Manggarai, Flores, NTT untuk menyebut sebuah wadah berbentuk tabung                         yang    dipakai untuk menyimpan hasil sadapan aren, terbuat dari bambu.


 "Bangga apanya, Ame? Gaji saja tidak cukup beli rokok, apalagi beli bensin," kataku. "Belum lagi pengeluaran lainnya, justru Ame yang menjanjikan kerjanya. Bayangkan harga sopi4 satu jerigen jumbo 'besar' sekarang itu Rp 600. 000!" lanjutku.

Ia tertawa kecil, menampakkan giginya yang tinggal dua.

            "Setidaknya kamu sudah sarjana. Ayahmu pasti bangga!" katanya, lalu ia pamit.

            Aku masih memperhatikannya dari jendela. Tampak jalannya sudah terseot-seot. Belum lagi kalau ia pulang dengan hasil sadapan aren dalam gogong yang dibawanya, pasti berat.

            "Tadi itu siapa yang bertamu di rumah sebelah?" tanya ayah.

            Aku menggeleng.

"Memang tadi Ame Paulus singgah, ngobrol sebentar di depan. Hanya aku tidak tanya," terangku.

"Mungkin itu, Si Agus, pebisnis cengkeh dari kampung sebelah," tebak ibu.

"Agus? Kenapa dia datang?" ayah penasaran.

"Bulan lalu, Ame pinjam uang, kurang lebih Rp 5. 000. 000."

"Kok Ibu tahu?" ayah heran.

Ibu hanya tersenyum. Maklum, ibu-ibu mahatahu!

Ayah menggeleng. Tahu benar ayah kalau begitu. Pasti uang untuk dikirim ke anaknya yang kuliah di Bali.

"Mau wisuda, Yah," lanjut ibu.

"Mudah-mudahan saja," kata ayah lagi.

"Kok Ayah seperti tidak percaya begitu?"

"Ya, ia, Bu. Ini sudah kesekian kalinya Ayah dengar kalimat begitu!" jawab ayah.

Ibu terdiam, seolah mengiakan perkataan ayah.

                 Sebagai tetangga, aku dan keluarga tahu betul apa yang terjadi di rumah sebelah. Apalagi jaraknya hanya semeter. Segala keributan di rumah sebelah pasti terdengar. Aku masih ingat, pernah semalam aku, ayah, dan ibu berdiri di sudut rumah hanya karena ingin tahu masalah yang terjadi di rumah sebelah. Bukan mau kepo, hanya penasaran saja. Bukan mau intervensi, hanya saja memperjelas prediksi diri.

"Terus, bagaimana? Bagaimana harus membayar utang itu?" teriak Ine Marta.

"Aku juga tidak tahu bagaimana. Sopi tidak laku-laku berbulan-bulan," jawab Ame Paulus dengan nada tinggi.

"Gara-gara kamu. Dari dulu aku tidak setuju dia kuliah. SMA saja kewalahan biaya, apalagi kuliah. Berjuta-juta per bulan, belum lagi anakmu itu minta dibelikan motor!" teriak Ine Marta.

"Lihat sekarang, banyak orang keluar masuk rumah minta dibayarkan uang pinjamannya. Lihat sekarang!" teriak Ine Marta lagi.

               Tidak sampai di situ, Ine Marta masih malak malam itu. Tetangga pasti jadikan itu gosip keesokannya. Itu wajib terjadi di kampung. Perkara kecil kerap diperbesar dan dibesar-besarkan dengan jalan pikiran masing-masing.

"Prak ...!"

              Suara itu, aku tahu pasti. Tak lama berselang, suara tangis memecah keheningan malam. Keributan pasti berlanjut, Ame Paulus tidak akan berhenti di situ. Aku tahu betul, bahkan hafal bener. Sebab kalau ia menegak sopi buatannya sendiri, ia akan kehilangan akal sehat. Sebentar lagi, pasti terdengar suara piring pecah, meja ditendang, dinding rumah dipukul-pukul. Suara teriakan akan menyusul setelahnya. Begitulah kehidupan keluarga kecil nan sederhana itu akhir-akhir ini.

Sopi4 Minuman keras (tuak) khas orang Manggarai, hasil sadapan enau yang dicampur dengan berbagai ramuan khusus.

                                                                                                                                      ***

                     Udara siang ini terasa panas dari biasanya. Sangat gerah! Serasa hidup di pinggir pantai saja. Padahal, ini musim hujan. Cuaca hari ini susah ditebak dengan akal sehat. Aku baru saja pulang sekolah. Aku habiskan hari ini di rumah gubuk tetangga baikku. Biasanya, aku pasti disodorkan sopi olehnya. Lama aku dengan ame bercerita. Mulai dari aktivitasnya sebagai perajin sopi sampai masalah politik yang akhir-akhir ini menggema, apalagi menjelang pilkada, yang dimana para calon akan menurunkan kaca mobil, sok-sokan melambai setiap orang lewat, menurunkan kaca mobil kalau masa kampanya berakhir!

                  Sampailah kami di satu titik cerita. Ame nampak sedih. Guratan sedihnya terlihat di ekspresi wajahnya yang makin kaku dimakan usia. Perjuangannya menjadikan anaknya sarjana belum membuahkan hasil. Ame belum menuai perjuangannya. Perbincangan terhenti sejak buliran air matanya jatuh mengenai kakinya. Aku terdiam, pura-pura menikmati sopi pemberiannya. Sebab aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya jadikan diri pendengar setia, tanpa komentar berlebihan.

"Hidup ini terlampau susah. Aku tidak tenang, banyak gunjingan yang datang. Hutang makin banyak. Sopi tidak laku-laku," katanya parau.

Kalau sudah begini jadinya, aku pasti diam. Hanya menjadi pendengar saja.

"Belum lagi, Anto tidak ada kabar. Sekolahnya tidak selesai-selesai. Teman-teman seangkatannya sudah pulang, bahkan sudah kerja. Aku dan Marta jadi bahan gunjingan," curhatnya. Ame menangis.

                    Ya itu betul. Aku pernah dengar orang gunjing. Banyak sekali tafsiran mereka. Ada yang bilang Anto tidak kuliah lagi. Ia hanya ongkang-ongkang di Bali. Ada pula yang bilang, kalau ia lanjutkan pendidikan S-2. Mana yang benar, aku pun tak tahu. Lama aku dan Anto tidak saling kabar. Kalau Ame tanya, Anto pasti bilang 'sebentar lagi'. Itulah jawaban yang didapat. Kalau begitu jadinya, Ame dan Ine pasti manggut-manggut saja. Semua alasan anaknya diterima, mau bagaimana lagi, mereka tidak tahu soal kuliah. Yang mereka tahu hanya cari uang biaya kuliah, meski modal utang.

                Menjadi bahan gunjingan memang semacam wajib diterima. Apalagi, dulu Anto menyelenggarakan pesta5 sebelum ia berangkat tujuh tahun silam. Bukan hanya itu, tiga tahun setelahnya diadakan lagi acara yang sama. Redaksi surat undangan acara pun diganti, dari kata melanjutkan menjadi kata menyelesaikan. Yah, bukan hal baru di kampungku acara demikian. Itu sudah turun-temurun dilaksanakan. Tradisi bahu-membahu ini adalah upaya untuk menyukseskan cita-cita seseorang. Sudah jelas kalau yang bersangkutan gagal, maka gunjingan menjadi santapan keluarga.

"Ah, kasihan. Sudah pesta malah gagal," kata Pak Joko.

"Lihat anaknya Pak Ary, sudah sarjana, kerja di bank lagi," kata Tante Lusia.

"Sudah tahu keluarga modal utang, anak bergaya bukan kepalang. Hasil pesta malah beli motor baru, handphone android versi baru. Gaya betul, tidak tahu malu," kata yang lainnya.

               Semua gunjingan mereka memang benar adanya. Aku pernah melihatnya di status facebook si Anto. Masih ingat betul dalam otakku status facebook-nya tiga tahun lalu: Teman jalan. Asyik! Statusnya dengan gambar motor gede hitam. Beberapa hari kemudian, aku melihat lagi, kali ini ia tulisakan di dinding facebook-nya tentang handphone android barunya.

                        Pesta5  Budaya khas orang Manggarai untuk memberi sumbangan dalam bentuk uang. Tujuannya adalah membantu biaya                           pendidikan. Besarnya sumbangan tergantung yang ikut acara tersebut. Orang yang pesta (pengantinnya) berdiri di depan                          tenda yang biasanya dibuat di depan rumah atau tempat luas lainnya. Orang yang memberi sumbangan biasanya                                            diundang                sebelumnya. Para tamu akan dijamu setelahnya. Kemudian dilanjutkan acara goyang ria sampai pagi.                                    Hasil pengumpulan dana ini (pesta) biasanya mencapai puluhan juta.


"Kamu beda, Nak. Kamu beda sekali. Kamu sudah sukses," kata ame seraya menepuk pundakku.

"Minumlah sopi-mu," katanya lagi.

Aku hanya tersenyum sambil minum.

Senja mulai turun. Saatnya aku pamit pulang. Ame hanya mengangguk pelan.

                                                                                                                        ***

                           Aku duduk sambil menikmati kopi saat hujan mulai berhenti. Awan-awan beriring di sudut langit. Pemandangan yang aduhai, lengkung pelangi menghiasi langit. Sungguh indah. Itulah kampungku, penuh warna dan keindahan yang tiada dua.

Kopiku hampir habis. Terdengar suara ketukan pintu. Aku beranjak dari kursi dan segera membukakan pintu.

"Ine," sapaku.

Wajah perempuan tua itu nampak keriput. Usianya sudah senja. Ekspresinya lain sekali sore itu. Ia nampak layu.

"Tolong bantu cari Ame, dia belum pulang," katanya.

                 Ine mulai menangis kecil. Sudah banyak tetangga yang berkumpul. Menurut ine, ame tidak pulang sejak pagi. Biasanya ia pulang memasak sadapan niranya untuk diolah menjadi sopi. Kami pun sepakat mencarinya di kebun, tempat pohon enau yang disadapnya. Aku dan beberapa tetangga menyusuri jalan setapak kecil. Kami harus menyalakan senter untuk menerangi jalan.

                       Aku gemetaran. Pandanganku tak lepas dari sosok yang tergantung di pohon enau. Ame-ku yang malang. Cepat-cepat salah seorang melepaskannya. Aku tak habis pikir, sesadis itu ame mengakhiri hidupnya. Ine Marta pingsan. Aku dan lainnya membopong ine.

                                                                                                                                            ***

                    Tangisan ine kembali pecah mengiringi peti jenazah ke perkuburan umum. Anto hanya diam. Air mata menetes pelan di pipinya. Beberapa anggota keluarga mulai menaburkan bunga ke dalam liang lahat, tempat ame berbaring abadi. Aku tak sadar, air mata menitik. Aku merindukannya. Aku rindu tawa renyah dan gigi-gigi ompongnya. Ah, ame-ku yang malang!

"Gara-gara kamu!" teriak Ine Marta kepada Anto.

"Gara-gara kamu," teriaknya lagi.

            Anto hanya mematung. Ia menitikkan air mata. Air mata yang entah bermakna apa. Ia hanya menangis menatapi rumah abadi sang ayah.

Noa, 18 Maret 2020

19.20 Witeng

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun