"Minumlah sopi-mu," katanya lagi.
Aku hanya tersenyum sambil minum.
Senja mulai turun. Saatnya aku pamit pulang. Ame hanya mengangguk pelan.
                                                            ***
              Aku duduk sambil menikmati kopi saat hujan mulai berhenti. Awan-awan beriring di sudut langit. Pemandangan yang aduhai, lengkung pelangi menghiasi langit. Sungguh indah. Itulah kampungku, penuh warna dan keindahan yang tiada dua.
Kopiku hampir habis. Terdengar suara ketukan pintu. Aku beranjak dari kursi dan segera membukakan pintu.
"Ine," sapaku.
Wajah perempuan tua itu nampak keriput. Usianya sudah senja. Ekspresinya lain sekali sore itu. Ia nampak layu.
"Tolong bantu cari Ame, dia belum pulang," katanya.
         Ine mulai menangis kecil. Sudah banyak tetangga yang berkumpul. Menurut ine, ame tidak pulang sejak pagi. Biasanya ia pulang memasak sadapan niranya untuk diolah menjadi sopi. Kami pun sepakat mencarinya di kebun, tempat pohon enau yang disadapnya. Aku dan beberapa tetangga menyusuri jalan setapak kecil. Kami harus menyalakan senter untuk menerangi jalan.
            Aku gemetaran. Pandanganku tak lepas dari sosok yang tergantung di pohon enau. Ame-ku yang malang. Cepat-cepat salah seorang melepaskannya. Aku tak habis pikir, sesadis itu ame mengakhiri hidupnya. Ine Marta pingsan. Aku dan lainnya membopong ine.