Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pembasuh Peluh (Bagian Akhir)

3 Februari 2023   18:01 Diperbarui: 3 Februari 2023   18:09 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kamu berhasil, Bro," kata sahabatnya suatu hari.

"Iyalah, Bro. Otakku kan seperti Albert Einstein. Encer, Bro,"jawab Cris bangga.

"Hebat kamu. Anaknya dapat, eh harta juga dapat."

"Mereka kumpulan orang idiot, Bro. Anak sama Ibu sama begonya. Mereka tidak tahu apa-apa soal rencanaku," seru Cris terkekeh.

"Bagaiman soal honor mobil yang lama dan mobil yang sekarang?"

"Gampang, Bro," kata Cris sambil menyodorkan amplop.

"Makasih,Bro. Usaha rentalku kaya gara-gara kamu."

Dinda makin penasaran bisnis apa yang dijalani suaminya. Selama ini Dinda tidak tahu apa-apa soal bisnis suaminya. Yang ia tahu, suaminya adalah pengusaha.

"Mas, bisnisnya makin sukses ya," kata Dinda mencoba tersenyum.

"Iya," jawab Cris cuek.

"Aku pengen tahu, Mas, bisnis di bidang apa?" tanya Dinda.

"Kamu tak perlu tahu itu. Itu urusanku," Cris marah.

"Mas,  aku ini istrimu. Aku berhak tahu," jawab Dinda terisak.

"Iya aku tahu. Bukan berarti kamu harus tahu segalanya," suara Cris meninggi.

"Apa yang Mas sembunyikan dari aku. Selama ini aku menderita. Aku tidak mendapatkan kasih sayang dari Mas. Mas tidak pernah pedulikan aku. Apa Mas tidak menganggap aku ini istrimu?"

"Sudah, jangan dibahas lagi. Aku mau pergi menemui rekan kerjaku," jawab suaminya berlalu.

Dinda menangis. Ia tak tahu mengapa ia seperti orang asing di mata suaminya. Ia tak tahan lagi dengan hidupnya yang malang. Tak sedikitpun ia merasa indahnya dua insan yang berbeda terikat dalam suatu ikatan suci.

"Ada apa Din?  Ceritakan aja. Aku siap membantu," kata Rini sambil mengusap air matanya.

 "Aku akan menghubungi Riko,"ujar Rini

"Buat apa, Rin?" tanya Dinda

"Untuk mencari tahu tentang Cris."

"Aku takut Riko menolak. Aku sudah mengkhianati dia," kata Dinda ragu.

"Sudahlah. Itu urusanku sama Riko. Aku pernah menemuinya, dan dia jujur kalau ia masih mencintaimu. Namun ia tak berharap kamu kembali. Ia hanya berharaP kamu bahagia," kata Rini meyakinkan Dinda.

Dinda menurut saja apa kata Rini. Ia tak sabar hasil dari usahanya. Ia hanya ingin tahu mengapa suaminya pulang larut malam. Dan mengapa ia menyembunyikan soal bisnisnya. Tak ubahnya seperti malam yang terlewat, Dinda termenung sendiri dalam kamarnya. Ia kaget, ponselnya berbunyi.

Ketemu aku besok pagi di tempat biasa

Dinda tak sabar ingin tahu tentang suaminya. Pesan yang dikirim Rini membuatnya penasaran. Ia berharap usahanya berhasil. "Makasih banget Rini atas bantuanmu. Kamu sahabtaku yang terbaik," katanya dalam hati.

Seperti malam-malam yang sudah lewat, ia hanya sendiri di kamar tidurnya. Suaminya belum pulang. Dinda hanya bisa berdoa agar suaminya berubah. Ia ingin suaminya mempedulikannya. Ia ingin mendapatkan kasih sayang dari suaminya. Di bawah sinar bulan, Dinda terlelap dengan jiwa yang sepi. Sementara Cris sedang berpesta dengan sahabat-sahabatanya. Ia merayakan keberhasilannya memoroti harta keluarga Dinda. Ia bersenang-senang layaknya orang kaya. Ia lewati malam itu dengan alkohol. Ia mabuk di antar kerumunan perempuan-perempuan cantik.

Di sudut Bar tampak seorang laki-laki mengenakan kaos putih. Tangan kananya sibuk memegang handphone sambil memotret. Laki-laki itu tersenyum. Ia mendapatkan bukti berupa foto juga rekaman malam itu.

"Sebentar lagi kedokmu terkuak," kata laki-laki itu dalam hati.

Laki-laki itu pulang. Ia mengendarai motor bututnya pelan. Hatinya berseri karena ia bisa membantu mantan kekasihnya. Ia tak berharap apa-apa. Ia ikhlas membantunya.

                                                                                                                    ***

Rini dan Dinda terkejut melihat foto-foto dan rekaman itu. Dinda tak menyangka suaminya seburuk itu kelakuannya. Jiwanya terguncang. Otot-otot di tangannya mulai terlihat. Ia marah sekali dan ia ingin menghajar suaminya. Ia tak kuasa menahan emosi yang bergejolak dalam jiwanya. Dalam rekaman itu jelas, Cris bilang kalau ia pernah mencoba meracuni ayahnya.

"Makasih Rik," ujar Rini tersenyum. Dinda ikut tersenyum. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Ia hanya melotot ke arah Riko.

"Sama-sama," jawab Riko membalas senyum mereka.

Dinda tidak berniat menanyakan kebenaran foto dan rekaman itu. Ia yakin itu memang suaminya. Dinda tak memberitahu kepada ibu dan ayahnya. Ia tak mau mereka shock gara-gara rekaman dan foto itu. Atas saran Rini, Dinda melaporkan suaminya ke polisi atas tuduhan pemerasan dan pembunuhan. Siang itu juga Dinda melaporkan ke polisi. Ia tahu suaminya pasti sudah pulang ke rumah.

Ibunya kaget melihat mobil patroli polisi parkir di perkarangan rumah.

"Ada apa Din?" tanya ibunya heran.

"Bu, akan Dinda jelaskan setelah orang bejat itu diborgol polisi," jawab Dinda pelan.

"Orang bejat siapa?" ibunya tambah heran.

"Nanti juga ibu tahu," jawab Dinda sambil memeluk ibunya.

Dinda tak sedikit pun membenci ibunya. Ia memaafkan kesalahan ibunya atas pernikahannya dengan Cris. Dalam kamar terdengar suara yang cukup keras. Cris berontak karena merasa tak bersalah. Ia mencoba melepaskan belenggu yang kini melingkar di tangannya. Ia seperti harimau yang ingin melepaskan diri dari perangkap. Ia terus berteriak dan menggerakkan tubuhnya sekuat tenaga.

"Salahku apa Pak?"katanya sambil berontak.

"Akan dijelaskan di kantor," jawab salah satu anggota Polisi.

 "Dasar laki-laki sialan. Aku benci melihat kamu lagi. Biarkan kamu membusuk di penjara. Kamu sudah menghancurkan keluargaku. Dasar gila," kata ibunya marah.

"Sudahlah, Bu. Yang lalu biarlah berlalu," kata Dinda menenangkan ibunya.

"Maafkan Ibu Din. Ibu salah menilai laki-laki sialan itu. Maafkan ibu," seru ibunya terbata-bata.

"Aku sangat berdosa jika tidak memaafkan Ibu,"kata Dinda sambil memeluk erat ibunya.

"Maafkan Ibu, Yah. Seandainya aku mendengar Ayah, pasti tidak akan terjadi seperti ini. Akulah yang menciptakan masalah ini. Tolong, maafkan, Yah" kata ibunya sambil bersujud.

Ayahnya hanya bisa menangis di atas kursi roda sambil mengusap wajah ibunya.

                                                                                                                                       ***

Surat perceraian sudah di urus. Dinda sangat bahagia. Jiwanya kembali hidup. Jalan menuju kebahagiaan terbuka lebar. Bibir manisnya tersenyum. Riko menerima Dinda apa adanya. Ia tak peduli Dinda seorang janda. Ia sungguh mencintai Dinda.

Malang, 06-07 Januari 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun