Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Dunia Tanpa Sampah Bukan Impian

9 November 2018   23:10 Diperbarui: 8 Agustus 2019   17:30 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perbandingan biaya pengelolaan sampah (data YPBB Bandung)

Pluk. Sebuah buntelan kantung plastik berwarna hitam, jatuh. Tidak jauh dari tempat saya berdiri. Sobek. Isinya berhamburan. Sisa-sisa aktivitas manusia. Kulit pepaya, ceceran nasi, dan segumpal benda berwarna hitam.

Sekumpulan lalat datang mengerumuni. Baunya menyengat. Dan hei, binatang apakah itu? Berukuran kecil mungil, bergerak dengan lincahnya. Belatungkah?

Namun, petugas pengangkut sampah nampaknya tak peduli. Terlalu banyak gundukan sampah yang harus diangkut ke kontainer. Mesti bergerak cepat. Agar truk bisa segera berangkat ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) yang berjarak sekitar 44, 1 km dari Pasar Ciroyom. Tempat saya menyaksikan sisa-sisa aktivitas pasar kaget.

Pemandangan ini sungguh bertolak belakang dengan tekad Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam siaran persnya, KemenLHK mewacanakan "Indonesia Bergerak Bebas Sampah 2020", agar tidak lagi menjadi pembuang sampah kedua di lautan. Sesuai penelitian Jenna Jambeck yang telah dipublikasikan pada Jurnal Science pada 12 Februari 2015.

Padahal sekarang sudah menjelang akhir tahun 2018. Terlalu ambisiuskah KemenLHK?

"Masalahnya bukan rentang waktu," jawab Direktur YPBB Bandung, David Sutasurya, "melainkan tidak adanya perubahan cara pengelolaan sampah. Selama masih menerapkan kumpul, angkut, buang', target puluhan tahunpun akan percuma".

Di sore berangin, usai hujan, saya mengobrol dengan David di kantornya yang asri, Jalan Rereng Barong nomor 30 Bandung. YPBB Bandung merupakan organisasi non pemerintah yang sejak tahun 1993 aktif berkampanye dalam mewujudkan zero waste lifestyle atau gaya hidup nol sampah.

David Sutasurya juga merupakan salah satu Dewan Direktur Bebassampah.Id yang sukses menyelenggarakan "International Zero Waste Cities Conference" pada 5- 7 Maret 2018 di Kota Bandung.

sampah di pesisir laut (dok.cnn.com)
sampah di pesisir laut (dok.cnn.com)
Jadi, harus bagaimana?

"Apa sih pengertian sampah?" tanya David.

"Hmm.... sisa-sisa aktivitas manusia," jawab saya. Ragu. Namun mulai memahami arah pembicaraan.

"Betul, sampah merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari aktivitas manusia," lanjut David. "Sejak dulu kita terbiasa membuangnya ke alam."

Alam mampu mengelola sampah secara berkelanjutan. Terbukti selama jutaan tahun tidak ada sampah menumpuk. Bila tidak, pastinya bumi sudah dipenuhi tumpukan daun kering serta kotoran hewan dan manusia.

Masalah sampah baru muncul setelah bahan tambang dan bahan sintetis ditemukan serta diproduksi secara massal. Plastik, misalnya, baru sekitar 150 tahun silam, sejak pertama ditemukan tahun 1862 oleh Alexander Parkes.

Berbagai jenis serangga dan cacing dapat menguraikan sampah organik menjadi bahan-bahan yang berguna bagi tumbuhan. Tapi tidak ada bakteri atau cacing atau jamur yang dapat memanfaatkan plastik sebagai bahan makanannya.

Logam dan plastik lama-lama akan hancur. Tetapi tidak terurai di alam. Faktor fisik seperti suhu, sinar matahari, kelembaban dan tekanan udara hanya membuat sampah logam serta plastik menjadi lebih rapuh.

Yang terjadi kemudian lebih menakutkan, logam berkarat karena proses reaksi dengan oksigen di udara menjadi oksida logam. Bahan ini menjadi racun yang mengganggu kesehatan makhluk hidup.

Sedangkan plastik menjadi rapuh. Namun alam tidak mampu memurnikannya. Hanya membuat plastik hancur menjadi potongan-potongan kecil yang disebut nurdles/ mikroplastik. Potongan kecil ini tersebar di tanah dan di laut dan sering termakan oleh hewan-hewan. Mikroplastik akan menumpuk dalam tubuh mahluk hidup kemudian masuk ke dalam siklus makanan. Mengganggu proses metabolisme tubuh.

"Bagaimana dengan kantong plastik ramah lingkungan yang konon bisa hancur dalam waktu 2-3 bulan?" tanya saya. Tanpa sadar bergidik, membayangkan timbunan mikroplastik dalam tubuh saya.

"Salah kaprah itu. Mereka menyebut kantong plastik ramah lingkungan hanya karena ditambah zat aditif agar mudah hancur menjadi mikroplastik. Seharusnya yang dimaksud kantong ramah lingkungan adalah tas kain yang bisa digunakan berulang kali."

Jadi, apa solusinya?

We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them (einstein)

Harus ada perubahan. Karena kita tidak mungkin menggunakan cara sama dengan sebelum bahan tambang serta bahan sintetis digunakan secara global dan masif.

Tidak bisa lagi menerapkan sistem sentralisasi pengelolaan sampah seperti sekarang. Yaitu, mengumpulkan sampah, mengangkutnya untuk dibuang ke TPA. Banyak kerugian yang muncul akibat sentralisasi.

  • Sampah berceceran dan berterbangan. Seperti kasus di paragraf awal. Sampah dalam proses pengangkutan juga meresahkan warga masyarakat yang melintas. Seorang teman yang tinggal di Bekasi berkisah, setiap pagi harus berpapasan dengan truk sampah yang melintas. Bau busuk tercium hingga ratusan meter. Air lindinya berceceran. Menjijikkan.
  • Biayanya lebih mahal dibanding sentralisasi. Tidak hanya meliputi biaya angkut, juga tipping fee. Bahkan DKI Jakarta harus menyiapkan dana hibah kemitraan berjumlah triliunan rupiah.
  • Tidak berkelanjutan. Bumi hanya satu. Jumlah manusia bertambah banyak. Lahan kosong semakin mengecil. Di masa depan tidak ada lagi lahan untuk menimbun sampah seperti sekarang.

Bagaimana dengan alternatif "waste to energy" , atau membangun pembangkit listrik tenaga sampah?

Dampak negatif akan sama jika sistemnya sentralisasi. Bahkan lebih buruk. Biaya per ton pengolahan "waste to energy" sangat mahal. Yaitu Rp 811.902.000/ton, biaya proses "kumpul, angkut , buang" sampah Rp 776.235.000/ton, sedangkan biaya sampah cara desentralisasi hanya Rp 329.205.000/ton.

perbandingan biaya pengelolaan sampah (data YPBB Bandung)
perbandingan biaya pengelolaan sampah (data YPBB Bandung)
Parahnya lagi, menurut Dwi Sawung dari Dewan Nasional Walhi, biaya produksi sampah menjadi listrik mencapai Rp 18,6 sen/kwh. Sementara PLN hanya sanggup membayar Rp 6,8 sen/kwh. Selisihnya bagaimana? Harus disubsidi pemerintah?

Jadi, pilihan yang terbaik adalah desentralisasi pengolahan sampah? 

Ya, desentralisasi sampah berarti mengelola sampah sejak dari sumbernya. Setiap rumah tangga wajib memisah sampah. Setelah itu sistem pengelolaan sampah setempat yang bekerja. 

Apakah akan mengolah sampah organik menjadi biogas? Atau kompos? Demikian juga sampah anorganik. Targetnya sampah selesai di wilayah tersebut. Sampah yang dibawa ke TPA hanyalah sampah yang tidak bisa mereka olah.

 Kawasan Bebas Sampah 

David tidak sedang berandai-andai ketika menjelaskan sistem desentralisasi sebagai solusi. Beberapa hari sebelumnya, saya mengunjungi Kawasan Bebas Sampah (KBS) RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung yang didampingi YPBB Bandung sejak tahun 2015 .

Pada tahun 2017, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kota Bandung tergerak untuk menjadikan KBS Sukaluyu sebagai percontohan. Kemudian menargetkan seluruh RW di Kota Bandung menjadi KBS juga.

Sedangkan YPBB Bandung meneruskan program dengan bekerja sama dengan Mother Earth Foundation mewujudkan program zero waste cities di Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi. Berlangsung multi years, karena goalnya tidak hanya partisipasi masyarakat, juga perubahan tingkah laku/budaya.

Selayang Pandang Kawasan Bebas Sampah 

Resik dan asri. Itulah kesan awal saya ketika memasuki Taman Lansia Jalaprang. Terletak di depan kawasan RW 09 Sukaluyu, siapapun bisa melihat proses pengolahan sampah disini. Khususnya di lokasi komposting yang dibangun memanjang di bagian utara taman.

Tiga orang petugas pengangkut sampah bergantian datang. Mereka membawa ember-ember. Isinya berupa sampah sisa makanan yang dituang ke dalam komposter. Saya melongok melihat ke dalam komposter. Ternyata telah ada gundukan daun-daun kering yang berasal dari taman. 

"Dulu, daun-daun ini dibakar atau dionggokkan begitu saja. Sekarang diolah menjadi kompos," kata Iwan Poernawan, Ketua RW 09 Sukaluyu.

Refleks, saya melayangkan pandangan ke seputar taman. Semua tertata rapi. Tak ada lagi gunungan daun kering. Khas taman di tengah kota.

Sekelompok ibu-ibu PKK sedang senam pagi dengan iringan lagu di tengah taman. Tak jauh dari mereka, beberapa anak usia Taman Kanak- Kanak asyik bermain bola. Dan di atas tempat duduk yang terbuat dari semen, seorang nenek menyuapi cucunya sambil bercanda.

Tak ada yang nampak terganggu oleh kegiatan pengolahan sampah. Tak ada yang menutup hidung. Karena memang tak berbau.

"Sampah jadi bau karena tercampur," kata Pak Iwan, "Selain itu, disini sampah diangkut setiap hari."

Tidak semua sampah organik dikompos. Sebagian sampah organik yang lunak dimasukkan dalam instalasi biodigester. Ada 5 biodigester atau instalasi pengolah sampah menjadi gas metan untuk memasak. Api yang dihasilkan bisa untuk memasak selama tiga jam nonstop.

"Bagaimana dengan sampah anorganik, Pak?" tanya saya.

"Disini nggak ada bank sampah," jawab Pak Iwan, "Sampah anorganik disedekahkan pada petugas sampah untuk dijual. Sisanya yang ngga bisa diapa-apain, diangkut ke TPS"

"Berapa banyak sampah yang berhasil dikelola agar tidak keluar kawasan?"

"Mari kita hitung. Sebelum program KBS, ada 3 orang petugas sampah yang masing-masing membawa gerobak isi sampah ke TPS. Sekarang, setiap 2 hari hanya 1 motor sampah," jawab pak Iwan.

"Baik gerobak maupun motor sampah, kapasitasnya 1 kubik. Jadi dulu, RW kami membuang 18 kubik sampah per minggu. Sekarang hanya 3 kubik per minggu. Tingkat partisipasi warga yang memisah sampah baru 51 %, jika sudah 100 %, insyaallah, sampah yang keluar akan lebih sedikit lagi," pungkas pak Iwan.

Wow, rasanya ingin bertepuk tangan atas keberhasilan warga RW 09 Sukaluyu.

Bagaimana rasanya sesudah RW 09 Sukaluyu menjadi Kawasan Bebas Sampah?

"Ya senang atuh," jawab ibu-ibu PKK yang telah rampung senam pagi. "Dulu suka bingung urusan sampah. Sekarang ngga lagi."

"Saya sangat senang," jawab pak Udin, salah seorang petugas pengangkut sampah. "Sekarang udah ngga cape kaya dulu. Dulu, harus jalan kaki jauh sambil narik gerobak isi sampah. Baju jadi bau, ngga ada yang mau dekat saya," lanjut Pak Udin.

Hambatan apa yang ditemui di lapangan? 

"Warga pendatang umumnya enggan berpartisipasi," jawab pak Iwan. "Bolak-balik menegur mereka, tetep aja begitu."

"Terkadang ada yang lupa memisah sampah," jawab Tiwi di kesempatan terpisah. Tiwi Arsianti merupakan salah seorang staff YPBB yang bertugas memberi penyuluhan pada warga KBS.

"Agak kesel jika ada yang ngeyel sambil nanya, mana undang-undang memisah sampah?" lanjut Tiwi.

David tertawa.

"Iya, kelemahannya disitu. Tidak ada regulasi yang mengharuskan warga memisah sampah. Isi peraturan hanya menyasar pihak swasta dan pemerintah. Karena itu sedang kita perbaiki dari perda ke perda," kata David.

International Zero Waste Cities di Bandung (dok. breakfreefromplastic.org)
International Zero Waste Cities di Bandung (dok. breakfreefromplastic.org)
Seberapa optimis David akan program desentralisasi sampah?

Sangat optimis. Dalam "International Zero Waste Cities Conference" kemarin kan kita mendengar bahwa negara-negara maju seperti Jepang, Prancis dan USA telah menerapkan desentralisasi sampah. Untuk negara berkembang, ada India dan Filipina.

Jumlah sumber daya alam yang semakin berkurang juga memaksa negara meninggalkan sistem perekonomian yang lama. Dari ekonomi liner, berubah menjadi ekonomi reuse/recycle dan berakhir ekonomi sirkuler.

Saya berkisah, dalam field trip Danone Blogger Academy ke Jawa Tengah, kami mengunjungi Rukun Santosa, suatu unit usaha yang mengolah sampah plastik sebagai pengisi lembaran tas, dompet serta berbagai produk lainnya.

"Itu termasuk recycling economy," jawab David. "Nanti, jika semua kemasan bisa diproses hingga tak ada lagi yang dibuang ke alam, barulah kita masuk fase ekonomi sirkuler. Karena itu sudah saatnya mengakhiri penemuan useless, mulai mencari inovasi agar tidak ada lagi sampah yang dibuang."

"Dan Indonesia bebas sampah, tidak hanya slogan?"

"Iya, dunia bebas sampah juga akan terwujud. Bersih sampah merupakan dampak lanjutan dari cara pengelolaan sampah yang benar."

Saya mengangguk.

Tetes hujan kembali merinai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun