UMKM Rukun Santoso
Hari kedua sesudah mengunjungi  pabrik Danone, rombongan menapaki jejak Danone lainnya yaitu UMKM pengelolaan sampah Rukun Santoso. Setiap produsen memiliki tanggung jawab  EPR atau Extended Producer Responsibility (EPR). Merupakan konsep yang didesain untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan kedalam proses produksi suatu barang hingga  produk  tidak dapat digunakan lagi. Biaya lingkungan menjadi komponen harga pasar produk tersebut.
Plastik reject atau tak layak pakai dikirim Danone ke UMKM Rukun Santoso untuk dipotong kecil-kecil. Mereka yang mengerjakan mendapat upah Rp 11.000/kg. Potongan plastik tersebut menjadi refill lapisan kulit. Hasil akhirnya bisa berupa tas, tampat tisu, tikar, sendal dan masih banyak lagi.
Taman Kehati
Kalender menunjukkan tanggal 13 Oktober 2018. Bukan sekedar penanda hari kedua field trip rombongan Danone. Juga menjelang peringatan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun 15 Oktober 2015.
Akademia mendapat pengalaman mencuci tangan dengan benar sambil menghemat air. Air hanya dialirkan di awal dan akhir mencuci tangan. Jangan dibiarkan mengalir mubazir. Hemat tidak hanya berkaitan air tanah yang hanya 3 % dari jumlah total di bumi. Juga terkait empati pada saudara-saudara kita yang kekurangan air.
 Bagaimana seharusnya konservasi dilakukan agar rakyat Indonesia tidak kekurangan air di musim kemarau, agaknya harus mencontoh keberhasilan Taman Keaneka Ragaman Hayati yang dibangun Danone. Banyak jenis tumbuhan ditanam di area sekitar 4.000 hektar ini.
River Pusur Project
Destinasi terakhir di tanah Jawa adalah mengunjungi Desa Polanharjo, tempat Sungai  Pusur mengalir. Banyak yang khas disini. Diantaranya penangkaran burung hantu untuk membasmi tikus. Juga pembangunan demplot pertanian.  Â
SRI atau System Rice Intensification diuji cobakan untuk memperoleh hasil padi organik. Dengan SRI, biaya produksi bisa ditekan dan kebutuhan airpun lebih hemat. Yang menarik adalah primadona teh berbahan baku bunga telang .
Bunga telang yang berwarna  biru dikeringkan dan dikemas dalam botol. Hasil olahannya bukan saja berupa teh biru, tapi juga  mochaccino blue latte dan blue rice. Mungkin seharusnya ada sentuhan chef yang pakar mengolah pangan. Agar  blue rice nampak sophisticated. Tidak seperti di Polanharjo yang dimasak seadanya dengan lodeh, sop, tahu bacem dan ayam goreng. Mungkin ini yang dinamalan" think globally, act locally"?